Setelah resign dari pekerjaan sebelumnya karena diterima CPNS, aktivitas saya masih cukup senggang. Setidaknya, tidak ada aktivitas rutin seperti saat masih kerja di kantor. Palingan hanya menulis tidak lebih dari dua jam sebagai freelance di salah satu perusahaan swasta. Ditambah, saya sudah di rumah. Jenuh dan bingung harus mengerjakan apa lagi.

Saat berselancar di Instagram, saya tidak sengaja menemukan postingan dari salah satu startup pendidikan yang programnya pernah saya ikuti saat kuliah. Kebetulan, saat itu sedang memasuki semester baru, jadi tentunya ada penawaran kuliah umum yang bisa diikuti siapa saja. Kesempatan nih, pikir saya saat itu.

Setelahnya, saya langsung mengecek website startup tersebut. Barangkali, ada kelas yang cocok. Setelah scrolling beberapa menit, saya memutuskan untuk mengikuti kelas menulis yang bekerja sama dengan salah satu penerbit dari kota wisata. Judul kelasnya menarik, “Digital Writing Mastery”. Saya membayangkan akan sangat terbantu jika mengikuti kelas ini. Pasalnya, saya memang ingin belajar menulis untuk kebutuhan di media online, rntah itu blog pribadi maupun media sosial.

Kelas Perdana, Waktunya Sedikit Menurunkan Ekspektasi 

Setelah beberapa minggu menunggu kelas perdana, akhirnya sore itu pun tiba. Ya, kelasnya diadakan pada sore hari. Kalau lihat di silabus sih, kebanyakan di hari Sabtu. Tapi, ada keterangan jadwal bisa saja berubah sesuai kesepakatan dengan pemateri. Oke, tidak terlalu masalah yang penting tidak dadakan. Orang nganggur mah gampang.

Seperti biasa, kelas perdana itu pasti masih perkenalan terlebih dahulu. Entah perkenalan dari penyelenggara kelas maupun peserta kelas. Sayangnya, di pertemuan pertama ini, sepertinya saya perlu menurunkan ekspektasi.

Dalam bayangan saya, penyelenggara kelas yang bekerja sama dengan startup jempolan yang dulunya ada di bawah naungan PTN top 3 ini, harusnya sih kualitasnya nggak main-main ya. Minimal, sedikit di atas standar, lah. Ternyata, tidak juga. Saya yang ekspektasinya terlalu tinggi.

Meskipun saya selalu menanamkan mindsetdon’t judge by it’s cover”, tapi jujur saja, desain presentasi dari penyelenggara kelas terlihat kurang profesional. Struktur ukuran font yang tidak konsisten hingga pernak-pernik yang tidak perlu, membuat saya trust issue. Pasalnya, ini kelas “Digital Writing Mastery”. Bagaimana mereka bisa mengajarkan skill digital yang oke kalau bikin salindia presentasi saja masih berantakan?

Pemateri Kurang Kompeten hingga Jadwal Kelas yang Berubah-Ubah

Saya tidak lagi menaruh ekspektasi terlalu tinggi pada penyelenggara kelas setelah melihat salindianya yang berantakan. Meskipun saya tahu, akan banyak melihat salindia sejenis karena sang CEO dari penerbit tersebut menjadi pemateri dalam beberapa sesi kelas menulis yang akan dijalani ke depan. Ya wis, nasib. Saya tetap berusaha mengosongkan gelas untuk belajar dan tetap berpartisipasi aktif selama kelas.

Sayangnya, kekecewaan saya tidak berhenti di situ saja. Dari beberapa pemateri lainnya, hanya satu orang yang saya anggap kompeten dalam topik yang dibahas. Sisanya, pemateri dadakan yang baru berkarya dan kurang menguasai materi. Rasanya ingin cabut kelas, tetapi sudah terlanjur nyemplung. Jadi ya sudah, ikuti saja.

Ditambah lagi, saya semakin kesal ke penyelenggara kelas karena beberapa kali mengganti jadwal secara sepihak. Dadakan dan tidak ada urun pendapat. Sangat berbeda saat saya kuliah. Kalau begini, rasanya peserta kelas seperti objek yang akan selalu punya waktu dan siap beradaptasi dengan jadwal dari penyelenggara kelas. Meskipun kelasnya diadakan secara online, bukan berarti bisa diubah seenak jidat ya. Hmm.

Proyek Antologi yang Tidak Sesuai Materi Kelas dan Nasib Peserta yang Dieksploitasi 

Satu hal lagi yang lucu dari kelas ini. Nama kelasnya “Digital Writing Mastery”, tetapi proyek paling besarnya adalah menulis antologi cerpen. Kalau menulis cerpen hanya dijadikan materi selingan sih nggak masalah, lah dalam kelas menulis ini ia justru menjadi tugas paling besar dan menyita waktu.

Anehnya, perihal editing, layout, ilustrasi, hingga desain cover, diserahkan sepenuhnya ke peserta. Padahal, mayoritas dari peserta kelas adalah orang-orang yang baru terjun di dunia kepenulisan. Saya tahu betul, bukan hal mudah untuk menyelesaikan proyek ini sambil mengurus printilan sampai naik cetak.

Saya sudah coba komunikasikan ke penyelenggara kelas secara pribadi, apakah tidak ada tim internal untuk mengurus hal tersebut? Jawabannya diusahakan. Namun, nyatanya, sampai sekarang semua masalah pracetak naskah diserahkan pada peserta.
Ini namanya penerbit yang semena-mena. Selain tidak adanya kesepakatan naskah antologi harus diterbitkan ke penyelenggara, peserta kelas juga harus kerja keras untuk mengurus naskahnya hingga siap cetak.

Dapat disimpulkan, selain tidak worth it secara isi materi, kelas ini juga bikin kesal karena mengarah pada eksploitasi. Berbadan hukum, tetapi perlakuannya seperti penerbit abal-abal. Pesan untuk penyelenggara kelas di mana pun berada, please perbanyak belajar dulu. Apalagi pesertanya mayoritas mahasiswa dan masyarakat umum. Jangan sampai malu sendiri dan kehilangan kepercayaan!

Editor: Yud

Gambar: Pexels