Indonesia adalah negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia. Prestasi ini tentu bukan suatu hal yang perlu dibanggakan ataupun dirayakan. Namun, hal ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh seluruh elemen, baik itu pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan perlunya keterlibatan masyarakat.

Untuk mengurangi penggunaan plastik, di beberapa kota besar seperti Jakarta dan Bogor misalnya, sudah memiliki regulasi yang melarang pusat-pusat perbelanjaan dan toko swalayan menyediakan kantong plastik. Hal ini salah satu bentuk misi penyelamatan bumi dari sampah plastik.

Di kota kelahiran saya sendiri, Bogor, saya lihat memang sudah ada beberapa pusat perbelanjaan yang telah menerapkan hal tersebut. Namun, jumlahnya tentu masih lebih banyak yang masih menyediakan kantong plastik.

Masih banyaknya toko-toko yang masih menyediakan kantong plastik untuk para pembeli, tentu harus menjadi evaluasi bagi Pemda Bogor. Peraturan tersebut seharusnya tidak hanya ditekankan kepada para penjual, juga harus ditekankan kepada para pembeli untuk ikut serta mengurangi penggunaan kantong plastik dalam berbelanja.

Minimnya Literasi tentang Sampah Plastik

Saya rasa, yang menjadi problem utama masyarakat enggan beralih menggunakan kantong yang bisa digunakan berkali-kali adalah tidak adanya literasi sampah plastik yang diterima oleh masyarakat. Masyarakat tidak paham atau tidak tahu dampaknya bagi lingkungan, tidak tahu bahwa sampah plastik sangat sulit untuk terurai di tanah dan tidak tahu dampaknya bagi hewan-hewan yang hidup di sungai dan laut yang sudah tercemar karena itu.

Tidak sampai di situ, peraturan yang ada hanya masih memfokuskan pengurangan penggunaan kantong plastik di pusat perbelanjaan. Padahal, persoalan sampah plastik tidak hanya sampai di situ saja, bagaimana persoalan sampah plastik yang sudah ada di rumah. Masayarakat tidak paham mengenai pemilahan sampah organik, non organik, sampah yang bisa di daur ulang, dan sampah elektronik.

Ditambah lagi memang tidak adanya lembaga yang menampung jenis-jenis sampah tersebut. Mau tidak mau masyarakat terus terbiasa untuk menyatukan segala jenis sampah dan membuangnya ke penampungan sampah atau lebih parahnya lagi ke sungai.

Saya dan keluarga seperti merasakan kegalauan karena sudah tidak adanya bank sampah yang biasa menampung sampah plastik kami. Alhasil, karena tidak mau membuang sampah ke sungai seperti sebelumnya, orang tua sering membakarnya saat pagi atau sore hari. Tentu ini mengganggu kenyamanan karena asap yang ditimbulkan dari pembakaran tersebut.

Lainnya halnya dengan sampah organik yang biasa kami manfaatkan sebagai kompos kebun kecil di rumah. Sedangkan untuk sampah, seperti kardus bekas, buku-buku yang sudah tidak dipakai, bekas tempat minyak goreng revil, botol-botol minuman kemasan bisa kami jual ke tempat rongsokan.

Pemda sebagai pemangku kebijakan tentu harus memiliki solusi yang baik agar misi ini tidak hanya embel-embel peraturan saja, namun harus bisa sampai ke masyarakat. Dibantu dengan lembaga sosial dan anak muda, sudah seharusnya persoalan sampah ini bisa teratasi. Jangan sampai beberapa tahun kemudian, tanah yang kita tempati ini sudah tertutup oleh jutaan bahkan milyaran sampah plastik dari berbagai jenis.

Editor: Nirwansyah

Gambar: Trubus.id