Tak perlu dijelaskan panjang lebar, kita semua bisa sepakat bahwa patah hati adalah momen yang pantas dikategorikan dalam pengalaman pahit, atau mungkin terlalu pahit.

Jika kalian mengamati musik-musik terkini mengenai patah hati, maknanya akan begitu dalam menggambarkan sang penulis lagu sedang dalam keadaan paling kacau dalam hidupnya.

Awalnya, saya tidak terlalu relate mengenai drama per-patah hati-an ini, pikir saya waktu itu “Masa, sih, orang patah hati bisa segitunya? Lebay, deh.”

Ya, memang orang congkak seperti saya perlu sekali diberi pelajaran hidup. Sampai saya benar-benar merasakan patah hati yang sesungguhnya.

Kala itu, mantan pacar saya mengatakan bahwa hubungan kami sudah tidak cocok lagi, “Masanya sudah habis,” katanya saat itu. Sebagai pemula dalam bab patah hati, terlalu banyak pertanyaan yang ingin saya tanyakan waktu itu, belum lagi mengenai perasaan saya yang sudah terlanjur tak karuan.

Saya terlalu meremehkan patah hati.

Sekarang ini, perasaan sesak dan berbagai pertanyaan yang menumpuk di kepala mulai surut perlahan. Satu tahun sudah berlalu, saya menyadari bahwa saya menjadi jauh lebih tenang.

Jika dulu saya bisa uring-uringan sepanjang hari, saat ini mungkin hanya beberapa kali saya merasa kesepian—setidaknya lebih baik daripada uring-uringan hahaha.

Tak hanya itu, selama satu tahun ini saya juga telah melewati apa yang disebut oleh Kübler-Ross dengan lima tahap kesedihan.

Penyangkalan

Tahap ini terjadi sekitar satu bulan pasca patah hati. Masih teringat sekali bahwa saat itu saya menjadi orang yang sangat ngeyel atau bahasa kerennya denial, saya tidak mau mengakui bahwa hubungan kami sudah berakhir.

Lebih parahnya lagi, saya masih kekeh untuk tetap berkomunikasi dengan si dia. Pikir saya waktu itu, ini hanya masalah kecil yang hanya massalah waktu hubungan kami akan kembali seperti semula.

Marah

Memasuki bulan kedua-ketiga saya mulai menyadari bahwa asumsi saya di awal keliru. Ternyata hubungan kami benar-benar selesai saat itu, ini masalah serius!

Dilandasi dengan rasa kekecewaan yang amat besar, emosi saya pun ikut memuncak. Saat itu saya mulai membenci si dia sembari mengatakan bahwa suatu saat dia akan menyesali keputusannya ini.

Penawaran

Masih di bulan yang sama, meskipun saat itu emosi saya masih di puncak tertinggi, namun di tahap ini juga saya mulai ‘mengajukan banding’ demi memperbaiki apa yang sebelumnya telah kacau.

Harus diakui bahwa penawaran yang saya ajukan saat itu bukan penawaran yang rasional. Namanya juga sedang patah hati, mana ada orang patah hati yang masih kepikiran harus rasional.

Jika diingat kembali, tahap ini adalah tahap yang paling memalukan kalau diingat karena saya rela melakukan apa saja asalkan hubungan ini dapat diperbaiki.

Bukan tanpa alasan, semua karena banyaknya emosi negatif yang saat itu saya rasakan. Karena saya tidak nyaman dengan adanya emosi-emosi negatif tersebut, saya tidak nyaman berada di posisi yang kalah saat itu. Sehingga terjadilah usaha-usaha terakhir demi memperbaiki keadaan.

Depresi

Tahap ini adalah tahap paling lama yang membuat saya terjebak. Entah akan terkesan berlebihan atau tidak, tapi saya benar-benar terjebak di tahap ini begitu lama, mungkin sekitar 9-10 bulan—ini memalukan.

Selama itu pula saya menjadi orang yang pendiam, pemurung, mudah cemas, bahkan sampai menutup diri dengan lingkungan sekitar.

Di tahap ini saya mulai sepenuhnya menyadari bahwa tidak ada satupun cara yang berhasil untuk memperbaiki keadaan, saya benar-benar kalah sekarang. Emosi seperti rasa kecewa, marah, benci, dan kehampaan meningkat begitu drastis, saya menjadi terlalu kacau dalam hidup.

Percayalah, tahap ini adalah berita baik sekaligus berita buruk. Berita baiknya, dapat dikatakan bahwa ini adalah tahap terakhir menuju sebuah ‘kemenangan’. Sedangkan, berita buruknya, tahap ini rumit sekali, bahkan terlalu rumit untuk dilewati.

Sehari-hari saya hanya membayangkan seandainya waktu bisa diputar kembali, sehingga saya bisa memilih untuk terjebak dalam lingkaran waktu ketika saya masih bersama dengan dia.

Dampak lainnya, saya menarik diri dari lingkungan sosial, termasuk teman-teman saya. Ketika grup whatsapp sedang ramai membicarakan mengenai kapan dan di mana akan berkumpul, saya hanya berakhir dengan membaca setiap notifikasi tersebut tanpa adanya hasrat untuk ikut bergabung. Selama di tahap ini, saya lebih banyak menghabiskan waktu sendiri.

Penerimaan

Menuju 2 bulan terakhir, saya merasa perlahan menjadi lebih tenang. Semua emosi yang sebelumnya saya rasakan, kini seakan kehilangan harga dirinya.

Saya tidak akan mengatakan bahwa emosi-emosi tersebut hilang sepenuhnya, namun kini saya kembali memegang kendali penuh atas tubuh dan pikiran saya. Di tahap ini, saya akhirnya mengakui bahwa saya telah kalah, dan tidak apa-apa jika saya kalah.

Tidak seperti yang saya bayangkan di awal bahwa ketika saya diputuskan maka saya akan berat sekali dalam melanjutkan hidup, tidak lagi dapat merasakan kebahagiaan, kesepian sepanjang waktu, dan berbagai kemungkinan buruk lainnya.

Ternyata tidak seburuk itu, saat ini saya masih hidup dan bahkan saya masih bisa bahagia—meskipun saya tidak bisa menyangkal bahwa sedikit kesepian haha. Belakangan ini saya juga menyadari bahwa yang selama ini menjadi beban adalah perasaan benci dan tidak mau mengakui bahwa kita sudah kalah.

Setuju atau tidak, menurut saya perihal cinta kita semuanya adalah pemula. Sebagai seorang pemula, kita masih membutuhkan berbagai jenis pengalaman.

Namun, sayangnya kebanyakan dari kita hanya menginginkan pengalaman yang membuat bahagia, dalam hal ini cinta yang romantis dan menggebu-gebu.

Padahal pengalaman mengenai patah hati juga tak kalah penting. Patah hati akan memberikan makna pribadi bagi setiap individu, coba saja jika tidak percaya!

Editor: Ciqa

Gambar: Pexels