Secara bahasa, dakwah berarti seruan, panggilan, atau ajakan. Sedangkan secara istilah, dakwah berarti mengajak orang lain untuk berbuat kebajikan dan menjauhi kemungkaran. Dalam Islam, dakwah menjadi tugas yang harus diemban oleh umatnya dengan penuh semangat.

Banyak sekali ayat yang menjelaskan kewajiban berdakwah bagi umat Muslim, di antaranya Q.S ali-Imran: 104 yang artinya:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

Selain itu, juga ada sebuah Hadits yang memerintahkan setiap umat Islam untuk berdakwah walaupun hanya satu ayat. Dali-dalil inilah yang kemudian memotivasi umat Islam untuk senantiasa mengajak kepada kebaikan dan mengajak untuk menjauhi kemungkaran. Bahkan ada sebagian umat Islam yang semangatnya dalam berdakwah sangat berapi-api, namun tidak diimbangi dengan kemampuan (pengetahuan) yang mumpuni. Mereka ingin berdakwah, tetapi sayangnya mereka tidak mampu.

Modal Semangat

Idealnya, seorang pendakwah (ustadz) harus memiliki kemampuan (pengetahuan) dan kemauan untuk berdakwah. Namun, fenomena hari ini, banyak kita jumpai pendakwah-pendakwah yang hanya bemodal semangat saja.

Baru baca terjemahan kitab Shahih Bukhari beberapa halaman, kemudian merasa paham dan menyampaikan kepada orang lain. Tidak jarang pula kita temui, orang-orang seperti ini dengan ke PeDean tingkat tinggi, menyalahkan mereka-mereka yang sudah belajar agama puluhan tahun. Meresahkan sekali ya bund.

Keresahan seperti ini pernah dialami teman saya. Teman saya yang satu ini adalah imam di salah suatu masjid. Suatu ketika, selepas mengimami salat ashar, ada seorang jamaah memakai gamis putih memanggil teman saya untuk duduk dihadapannya (bukan Jibril).

Dari sini saja kita sudah tahu, bahwa jamaah yang satu ini kurang memiliki sopan santun, mestinya jamaah ini yang menghampiri teman saya. Setelah teman saya duduk di depan jamaah itu, seketika tanpa salam dan basa-basi langsung ngomong, “mas saya pernah baca Hadits di Sahih Bukhari, kalo pakaian kita saat shalat menutupi mata kaki akan masuk neraka.”

Saya yang duduk di belakang mereka berdua, terkejut mendengar hal itu. Saya semakin terkejut ketika teman saya mengatakan, mereka berdua tidak saling kenal. Namun, teman saya sangat bijaksana merespon jamaah ini.

Teman saya mengatakan, “iya pak, besok-besok lagi saya akan shalat dengan pakian di atas mata kaki.” Padahal, sejatinya teman saya tahu bahwa masalah ini (pakaian di bawah mata kaki), masih menjadi perdebatan ulama. Ada yang bilang boleh, ada pula yang melarang. Dan jamaah itu baru tahu pendapat ulama yang melarang, tetapi belum tahu ada ulama yang membolehkan.

Selang beberapa hari, nampaknya jamaah itu belum puas dengan model shalat teman saya. Selepas shalat dzuhur, jamaah itu datang ke rumah teman saya, dan kembali melontarkan pendapatnya. Menurutnya, ketika seorang sujud, maka delapan bagian tubuhnya harus menempel lantai. Delapan bagian itu adalah, dua ujung kaki, dua lutut, dua telapak tangan, hidung, dan dahi. Maka, menurut dia, sebaiknya mas (teman saya), jika sedang shalat maskernya diturunkan sedikit agar hidung bisa menempel ke lantai.

Mendengar pernyataan itu, teman saya sontak bertanya, loh pak, kalo masker harus diturunkan agar hidung bisa menyentuh lantai, berarti celana bapak juga harus dilubangi sedikit dibagian dengkul agar dengkul menyentuh lantai?. Mendengar pertanyaan ini, si jamaah langsung diam dan tak berkutik.

***

Inilah yang saya sebut dengan “mau doang tapi gak mampu”. Setiap orang Islam memang punya kewajiban untuk berdakwah, tapi orang Islam juga tidak boleh lupa, mereka juga punya kewajiban untuk mempunyai ilmu terlebih dahulu sebelum menyampaikan ke orang lain.

Jika boleh saya perumpamakan sikap jamaah itu kepada teman saya, layaknya seekor burung yang mengajari ikan untuk berenang.

Ramalan Gus Dur

Saya yakin, kasus-kasus serupa banyak terjadi di sekitar kita. Gus Dur pernah meramalkan, akan datang suatu masa dimana orang yang baru baca satu-dua buku kemudian diklaim atau mengklaim dirinya sendiri sebagai ustadz. Dan hari ini, ramalan itu benar-benar terjadi. Hari ini kita sering melihat orang yang baru belajar agama, atau artis baru taubat, atau mualaf bermodal gamis dan surban dianggap ustadz oleh masyarakat.

Bahkan, sering kali mereka menyalahkan, ustadz atau kyai yang sudah puluhan tahun belajar agama. Sebagai orang awam, hendaknya kita berhati-hati dalam memilih ustadz. Jangan memilih ustadz yang hanya bermodal gamis dan surban saja, Abu Jahal dulu juga pakai gamis dan surban. Jangan pula memilih ustadz yang hanya bermodal semangat saja, tetapi secara keilmuan belum memenuhi syarat.

Editor: Nirwansyah

Ilustrasi: NU Online