Tahun 2022 begitu berapi-api bagi sepak bola kita. Sepertinya, ada kebahagiaan yang membuncah di tiap bulannya. Pembukaannya adalah pencapaian timnas senior menjadi runner-up Piala AFF 2020 pada awal tahun. Kemudian diikuti lagi dengan timnas futsal di ajang serupa yang sayangnya, sama-sama takluk dari Thailand. Lalu, ada berbagai partisipasi di ajang lain dengan hasil yang juga tidak kalah membanggakan. SEA Games Vietnam dengan raihan medali perunggu, lolos Asian Cup 2023 untuk timnas senior dan U-20, serta gelar juara piala AFF U-16 menjadi pertanda bahwa 2022 akan menjadi tahun yang full senyum.

Pertandingan kompetisi liga yang kembali dihadiri 100% kapasitas penonton juga menjadi euforia lainnya dalam menyambut kabar baik bagi sepak bola Indonesia. Aksi pemain yang atraktif dan kehadiran talenta-talenta muda berkualitas prima membuat kompetisi kita (meskipun belum sepenuhnya berkembang) menjadi makin atraktif. Tahun ini, sepak bola kita begitu cemerlang… setidaknya sampai di malam hari tanggal 1 Oktober 2022.

Malam itu, Stadion Kanjuruhan porak poranda. Situasi yang tidak terkendali membuat manusia-manusia di dalamnya tidak tahu arah. Bukan masalah rivalitas Malang dan Surabaya. Namun, amarah yang tak terkontrol ditambah dengan represi berlebih dari aparat membuat ratusan orang kebingungan untuk mencari keselamatan.

Sayang sekali, pada akhirnya, ratusan di antara mereka harus berpulang. Jika satu nyawa yang melayang adalah jumlah yang banyak bagi peristiwa kerusuhan suporter, lantas 182 korban meninggal dunia adalah pertanda bencana besar bagi sepak bola, bukan hanya Indonesia, namun seluruh dunia. Lebih jauh lagi, tragedi Kanjuruhan Sabtu lalu adalah persoalan kemanusiaan. Setelah euforia dan suka cita atas keberhasilan kita di berbagai ajang, kini lampu pesta itu harus dimatikan sejenak untuk berkabung atas kejadian menyedihkan ini.

Tragedi Kanjuruhan membuat kita semua berkabung dan merasakan sisi kelam dari sepak bola. Mereka yang berpulang tidak hanya laki-laki dan orang dewasa sebagai golongan yang diidentikkan dengan olahraga sepak bola. Ada perempuan, remaja, bahkan balita yang turut menjadi korban dari kekacauan malam itu. Lewat informasi di media sosial, video iring-iringan ambulans di Malang yang mengantarkan jenazah ke pemakaman begitu menyayat hati saya. Semua orang pasti mengirimkan belasungkawa dan doa terbaik bagi mereka yang berpulang dan ditinggalkan.

Namun, di tengah kesedihan masyarakat yang mendalam ini, beberapa pihak yang nirempati justru memanfaatkan duka cita ini. Foto orang mengepalkan tangan lengkap dengan seragam partai yang malah berukuran lebih besar daripada ucapan belasungkawa membuat banyak orang begitu geram dan marah. Ketika semua orang merasakan duka cita yang dalam, orang-orang itu seperti menyampaikan pidato kampanye di upacara kematian. Sekali lagi, orang-orang yang memanfaatkan momen duka ini begitu nirempati.

Setelah peristiwa ini terjadi, pertanyaan semua orang akan serupa: siapa yang bertanggung jawab? Kita belum menemukan jawaban pasti tentang siapa dan langkah apa yang akan dilakukan. Sementara publik bertanya-tanya, amarah kita justru makin menyeruak saat tidak ada gestur berduka dan rasa bersalah oleh pihak keamanan sebagai salah satu penyebab kekacauan.

Setelah dengan jelas melanggar regulasi FIFA, mengelak malah jadi jurus jitu yang dikeluarkan, alih-alih meminta maaf. Pernyataan bahwa pengamanan sudah sesuai prosedur adalah omong kosong yang malah menambah ketidakpercayaan masyarakat pada institusi terkait. Dengan sikap mereka ini – yang sebenarnya sudah sangat familiar di pandangan kita – mendesak dan menagih tanggung jawab aparat via media sosial mungkin jadi langkah yang cukup efektif yang bisa dilakukan saat ini.

Berkenaan dengan langkah pasti atas tragedi ini, perlu ditegaskan (berjuta kali) lagi bahwa hukuman saja tidaklah cukup. Bagi komisi disiplin, pemberian sanksi adalah rutinitas tiap pekan sehingga harus ada langkah yang lebih tegas, bahkan menegur keras sesama stakeholder sekalipun. Evaluasi besar-besaran adalah opsi yang tepat. Apa yang dievaluasi adalah sistem penyelenggaraan pertandingan supaya menjadi lebih aman dan nyaman dinikmati bagi semua orang.

Namun, apalah arti sistem baru kalau yang terlibat masih orang-orang lama dengan segala kekolotannya. Berkaca dari kinerja mereka pada masa lampau, jika bergerak malah menghasilkan blunder, sepertinya mundur adalah opsi terbaik bagi orang-orang di federasi saat ini. Setidaknya seperti itu jika memiliki rasa malu dan sadar diri.

Berangkat dari kejadian ini, ternyata ada benih-benih baik yang tumbuh. Suporter dari berbagai daerah bergerak untuk menjalin perdamaian dengan rivalnya. Perseteruan antar suporter memang bukan sebab dari tragedi ini. Namun, kesadaran mereka untuk menciptakan ekosistem sepak bola yang lebih ramah patut diacungi jempol. Tidak satupun dari mereka menginginkan kejadian buruk ini terulang. Hingga saat ini, kedewasaan suporter terus menerus diuji dan peristiwa ini diharapkan menjadi titik balik. Fanatisme buta harus segera diruntuhkan dan diganti dengan kreativitas suporter yang menghibur dan tidak anarkis. Sekali lagi, kemanusiaan harus tetap di atas urusan sepak bola.

Harapan besar kita semua adalah sepak bola Indonesia menjadi makin hebat dan memukau pada setiap sisinya. Saat timnas kita begitu memesona dengan segala kemajuan taktik dan pencapaiannya, suporter bisa mulai turut andil dalam melancarkan perjalanan sepak bola Indonesia dalam meraih mimpi-mimpinya ke depan. Bukan tidak mungkin, lampu pesta itu bisa kembali dinyalakan untuk merayakan banyak kemenangan lainnya. Kemenangan yang bukan hanya milik satu atau dua pihak saja, namun milik semuanya yang mencintai sepak bola Indonesia. Sebab, sejak dulu hingga nanti, sepak bola adalah milik semua orang. Sekian.

Gambar: Pexels

Editor: Saa