“Apapun akan kulakukan supaya Desa ini maju!” Teriak Bapak Kades hari ini di akhir rapat. Pak Kades marah, katanya jalan desa yang harusnya jadi akhir bulan kok belum juga tergarap. Perwakilan kontraktor berdalih katanya warga desa yang seharusnya bisa jadi mitra pembangunan malah nggak mau jalan. Perwakilan aliansi pekerja desa pun angkat bicara:
“Masak kita kerja seharian cuma dibayar 30 ribu. Sehari itu selama delapan jam lo, ga masuk akal Pak Kades!” Diikuti sorak sorai pekerja yang lain.
“Gini loh Bapak Kontraktor dan Bapak Ketua Aliansi. Proyek ini bukan untuk kepentingan saya, tapi untuk kepentingan rakyat desa. Transportasi lancar supaya roda ekonomi terus berjalan.” Pak Kades mengeluarkan pidato pamungkasnya.
Ya memang benar sih. Kepentingan rakyat itu nomor satu, kepentingan istri, sanak, keluarga, kelompok harus nomor sekian walaupun mereka juga bagian rakyat. Pak Kades ini manly sekali pikirku. Kalau dia ingin kaya saja, nggak mungkin dia mau repot-repot ngadain musyawarah gini.
Makin lama diskusi makin kisruh. Kontraktornya ingin untung besar, aliansi pekerja juga nggak mau kerja capek-capek tapi cuma dibayar murah. Makin lama kontraktor mencoba dengan ancaman kalau aliansi pekerja tidak mau dibayar murah, mereka akan mempekerjakan tenaga di luar desa.
Aliansi pekerja pun tidak mau kalah, kalau kontraktor tidak mau menuruti standar gaji aliansi, ya aliansi bakal nyari kontraktor lain. Kalau perlu mereka yang jadi kontraktornya.
Tak lama, Pak Kades pun teriak lagi: “Saya tidak mau tahu, kalau saja proyek ini tidak jalan, Kontraktornya akan saya ganti. Saya tidak peduli!” Bapak perwakilan kontraktor pun terdiam, langsung dia telpon atasannya. Tak lama rapat dibubarkan.
Makin hari muka Pak Kades makin lencu. Kata istrinya dia sering kena marah atasan gara-gara proyek ini nggak selesai-selesai, lha gimana mau selesai kontraktor sama penduduk desa sama-sama seenaknya sendiri. Apalagi Pak Kades ini tipe orang yang jujur dan nggak enakan.
***
Mungkin apa yang terjadi di cerita Pak Kades di atas adalah apa yang juga dirasakan Pak Jokowi beberapa minggu yang lalu saat video marah-marahnya dirilis. Kok bisa marah-marah? Bukannya Pak Presiden ini ibarat bosnya menteri ya?
Sebentar dong bos, kan belum tentu sekelas Presiden tidak ada atasannya. Jelas, atasan Pak Presiden itu ya rakyat. Rakyat harus nomor satu, semua parameter kesejahteraan rakyat harus meningkat. Siapa tahu Pak Jokowi ini rajin cek tweet-tweet rakyat di Twitter, makanya paham.
Tentunya hal ini bisa jadi sama dengan keadaan Pak Jokowi beberapa minggu lalu, yang mungkin saja beliau memang marah karena adanya tekanan dari rakyat.
Tapi nih tapi, bukankah seharusnya yang wajib marah itu ya justru para menteri alias bawahan Pak Presiden? Kan kendali pemerintahan di tangan beliau. Cepat lambatnya ritme kabinet ya di tangan beliau. Kalau ada yang nakal ya disikat personal saja. Gitu saja kok repot. Masa jadi bos saja nggak becus, kerjaan tinggal suruh-suruh saja kok bingung?
.
Dari video kemarahan Bapak Jokowi, para menteri ada yang memperhatikan dengan baik, ada yang mencatat dengan rapi. Ajaibnya tidak ada yang marah-marah. Padahal mereka ini kan sebenarnya juga punya hak untuk marah. Urusan kepemerintahan gini, salah benarnya ya akibat semua pihak. Tidak melulu para bawahan yang salah.
Andai saya jadi menteri yang disitu, ya jelas protes dengan bunyi yang kira-kira begini:
“Bapak atasan yang terhormat, kalau kinerja saya kurang oke, ya tinggal ingatkan personal saja dong pak. Bisa lewat WA, bisa lewat telepon. Semua bisa. Jangan tiba-tiba marah besar, apalagi direkam untuk kemudian videonya diunggah supaya khalayak ramai tahu kalau kinerja saya kurang benar.”
Kalau memang sejak awal fokus jadi menteri dan nggak ada kepentingan apapun harusnya ya bebas-bebas aja mau protes. Kalau memang kinerja saya payah dan tidak layak jadi fasilitator rakyat ya ngapain repot-repot bertahan. Kan jelas bekerja buat rakyat. Apa yang perlu ditakutkan?
Coba kalau ada pilihan lain, kami sikat kamu Bos! Yah tapi sayangnya saya bukan Pak Menteri. Jadi ya sama saja, bisanya cuma diam.
Comments