Dalam menjalin suatu hubungan dengan orang lain, baik teman, keluarga ataupun pasangan, ngobrol menjadi suatu hal yang amat penting. Karena dari cuap-cuap ini, kita bisa menyikapi suatu hal dengan baik. Lalu apa jadinya kalau kita diem-dieman sama orang lain?
Ketika dalam suatu hubungan ada pihak yang emosi, maka lebih baik kita balik emosi menyikapinya dengan tenang dan sabar. Banyak orang berdalih diam adalah bagian dari bentuk ‘tenang dan sabar’. Tapi kalau terus menerus didiemin, jadinya malah berabe lho, bestie.
Nggak semua sikap diam yang kita berikan ke orang lain adalah bentuk emasnya diam. Bisa jadi, itu menjadi sebuah kekerasan emosional kepada orang lain. Asal bestie tau, kekerasan emosional punya dampak yang sama signifikannya dengan kekerasan fisik. Nah lho.
Trus sebenarnya bentuk diam yang masuk kategori kekerasan emosional itu gimana sih? Apakah nasihat mbah ‘mending meneng, sing waras ngalah’ adalah sebuah mispersepsi? Tentunya, mbah-mbah kita nggak sepenuhnya salah. Dalam beberapa hal, memang lebih baik diam dan mengalah ketika menghadapi sebuah konflik.
Akan tetapi perlu kita beri batasan, sampai sejauh mana kita harus ‘diam’. Ingat ya, diam yang baik itu bukan menghindari konfrontasi dan memutus komunikasi. Jangan sampai diam yang kita lakukan, malah menjadi silent treatment dan menyebabkan orang lain terluka secara psikis.
Silent treatment kerap kali dijadikan sebagai ajang balas dendam, agar orang yang dituju merasa bersalah, hingga mempertanyakan keberhargaan dirinya sendiri.
“Syukurin gue diemin, biar lu bisa mikir sendiri salah lu dimana.”
Mungkin itulah pikiran bejat pelaku silent treatment, yang kerap kali melukai psikis korbannya. Bisa dilihat tujuan akhir pemberian silent treatment ini adalah, untuk menghentikan perilaku orang lain yang tidak diinginkan oleh pelaku. Manipulatif banget kan jadinya.
Ada juga silent treatment yang sudah menjadi bawaan dan susah banget diubah, karena ternyata pelaku mengidap Narcissistic Personality Disorder (NPD). Kelainan psikis yang tidak hanya sebatas narsis dan ingin diakui, tapi juga merasa orang lain hanya menjadi fuel atau bahan bakar bagi dirinya.
Ketika pelaku merasa tidak membutuhkan fuel itu lagi, maka munculah silent treatment yang berakhir pada playing victim dan ghosting. Lebih jahatnya lagi, pengidap NPD malah ‘menikmati’ emosi ini, sebagai bentuk respon negatif dari para korbannya.
Why? Karena fuel tadi tidak hanya berkonotasi pada suatu hal yang positif, tapi juga pada hal negatif. Untuk perilaku NPD ini, memang harus ada assesment dan pendampingan psikis dari ahlinya sih.
Tapi untuk silent treatment yang dilakukan oleh mayoritas orang, tentunya masih bisa diatasi dengan sebuah cara yaitu komunikasi asertif. Kita tahu bahwa kunci sebuah hubungan adalah komunikasi. Lagi-lagi bukan kuantitas, melainkan kualitas.
Nah, asertif ini adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain, namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain.
Gampangnya, tidak bersikap pasif ataupun agresif dalam berkomunikasi. Mungkin bisa dibilang moderat kali ya. Orang yang berkomunikasi secara asertif, akan menemukan win-win solution ketika bermasalah dalam hubungan. Bukan didiemin terus-terusan atau malah menghindar.
Kata pak Garner (2012), assertive skills are the best way to manage conflict. Ternyata komunikasi asertif ini sebegitu penting lho, terlebih dalam penanganan sebuah konflik. Sikap asertif itu kemampuan yang tidak dibawa dari lahir (walaupun beberapa orang memiliki kecenderungan demikian).
Maka, kita semua bisa kok untuk belajar berkomunikasi asertif dengan orang lain. Jadi nggak ada alasan buat ngomong, “gue tu emang dari sononya begini, lu harusnya ngertiin gue!” Hilih.
Intinya, komunikasi asertif dua arah dapat menghindarkan kita dari respon pasif seperti silent treatment, ataupun respon agresif seperti main pukul dan KDRT. So, buat kamu yang ngerasa sedang ngelakuin silent treatment ke teman, keluarga ataupun pasangan, yuk belajar berkomunikasi asertif. Tentunya segera bertaubat juga sebelum WW III terjadi.Kita nggak bakal tahu kamu maunya apa atau lagi kenapa, kalau kamu nggak mengkomunikasikan itu dengan baik. Kalau memang ada masalah, harus dihadapi dan diselesaikan ya. Tapi kalau memang udah nggak ada rasa, ya ngomong ojo terus lungo, awas nemoni apes, lemah teles gusti sing bakal mbales.
Foto: Pexels
Editor: Saa
Comments