“Ambek Berek,” biasanya kata-kata dalam bahasa Madura yang berarti ‘Hadang sebelah barat’ itu terdengar bersama derapan kaki bapak-bapak yang sedang memburu sosok hitam yang berloncatan di atas genteng yang kemudian disebut ninja.
Waktu itu saya masih kecil. Sekitar kelas satu atau dua SD. Suasana malam hari sangat mencekam. Setelah matahari terbenam, pintu dan jendela rumah setiap warga dikunci rapat-rapat. Ibu-ibu dan anak-anak tetap di dalam rumah, sementara para bapak-bapak melakukan patroli.
Bukan Ninja Mainstream
Ninja. Mungkin sebagian orang mengetahui ninja dari film-film Jepang atau dari sosok ninja paling populer saat ini, yaitu Naruto. Akan tetapi, ninja dalam ingatan saya benar-benar berbeda dengan kisah heroik yang ada di anime Naruto. Saat itu mungkin sekitar tahun 2000-an awal, saya lupa tahun persisnya. Suasana kala itu sangat mencekam. Siang hari pun tak kalah seram. Di setiap jalan masuk desa, selalu ada portal yang dibangun warga untuk memeriksa setiap mobil yang lewat.
Warga memeriksa setiap mobil untuk mencari tahu apakah mobil ini membawa senjata tajam atau tidak, urat syaraf warga tegang. Mereka melakukan apa saja untuk memburu si ninja, karena suasana saat itu memang sangat genting sekali.
Setiap malam selalu ada tokoh agama yang diserang oleh mahkluk yang warga sebut sebagai “ninja” ini. Dikabarkan banyak kiai, ulama dan guru ngaji yang terluka, bahkan ada yang meninggal akibat serangan itu. Salah satu yang diserang adalah seorang kiai pemilik pesantren dekat rumah. Beruntung nyawa beliau masih bisa diselamatkan.
Suasana mencekam karena ninja ini berlangsung cukup lama, mungkin hampir setahun. Bapak-bapak yang setiap malam berpatroli menceritakan banyak kisah mengenai apa yang mereka kejar itu. Ada yang berkata langkahnya cepat seperti tak memiliki beban. Meloncat dari satu genting ke genting yang lain tanpa membuat genting itu pecah. Bahkan tanpa bersuara.
Ada yang mengatakan, saat mengejar tiba-tiba ninja itu berubah menjadi asap lalu menghilang seperti menguap. Ada yang berkata berubah menjadi pohon. Ketika pohon itu disabet pakai celurit, pohon itu berdarah lalu keluar asap dan menghilang. Memang tak masuk akal cerita-cerita dari bapak-bapak ini.
Ulama dan Kiai sebagai Sasaran
Namun, saya mengalami sendiri bagaimana seramnya saat itu. Tak ada lagi suara anak-anak yang ceria berangkat mengaji ke surau di waktu magrib. Pintu dan jendela benar-benar tertutup serapat-rapatnya. Seakan-akan kucing pun tak boleh masuk.
Tak ada yang berani keluar, kecuali para bapak-bapak yang ingin desanya aman. Itu pun harus berkelompok, jika sampai terpisah bisa dipastikan bakal diserang. Poskamling yang dulunya hanya menjadi tempat main kartu domino atau remi, saat itu benar-benar difungsikan untuk menjaga desa. Bahkan keberadaan poskamling ditambah agar keamanan tetap terjaga secara maksimal. Apalagi jika menyangkut keselamatan ulama dan kiai, warga desa saya sangat militan.
Saat masuk bangku perkuliahan, saya coba menceritakan apa yang terjadi di desa saya saat itu. Siapa tahu ada yang mengalami hal serupa. Namun, kebanyakan dari mereka tidak tahu kasus itu. Apalagi mereka yang berasal dari luar Jawa Timur. Hanya seorang teman dari Lamongan yang mengaku mengalami hal yang sama dengan saya. Seperti yang diketahui, di Lamongan memang banyak ulama dan kiai.
Saya mengambil kesimpulan peristiwa ini hanya terjadi di Jawa Timur saja. Sebab teman-teman yang dari luar Jawa Timur tidak mengalami dan tidak tahu peristiwa itu. Anehnya, teman-teman yang dari Jawa Timur juga banyak yang tidak tahu. Pemberitaan di televisi juga jarang menyiarkan hal yang berkaitan dengan peristiwa tersebut.
Jika melihat tulisan-tulisan yang berseliweran di Google, ditulis jika awalnya ninja mengincar para dukun. Entah apa yang membuatnya mengganti target, malah menyerang kiai, ulama dan para guru ngaji. Korban pertama disebutkan berasal dari Banyuwangi, kemudian berjatuhan korban lain di seluruh Jawa Timur. Suasana ketakutan menyebar bagai wabah ke seluruh penjuru Jawa Timur.
Entah ada apa dibalik peristiwa terror ninja ini. Setiap peristiwa pasti ada dalangnya, entah siapa dalangnya. Jika mengingat peristiwa tersebut sampai sekarang masih terasa kengeriannya.
Editor: Nirwansyah
Comments