Dinamika kehidupan merupakan sesuatu yang benar-benar tak bisa ditebak. Di samping itu, ada kalanya juga kita menjumpai kemarahan dan kebodohan. Pagi ini kita tersenyum bahagia, sore harinya tak menutup kemungkinan kita meneteskan air mata. Terima atau tidak, memang seperti itulah kenyataannya. Hal itu juga menjadi bukti bahwa tak ada yang abadi di dunia ini kecuali Dia.
Kita mungkin tak tahu apa yang akan terjadi, tapi―sebagai manusia―kita selalu memiliki opsi. Maksud opsi di sini adalah bagaimana menyikapi peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri kita. Misalnya, apabila kita diberi tugas oleh dosen, kita berhak menentukan bagaimana sikap kita terhadapnya. Apakah kita biarkan/pura-pura lupa/berusaha melupakan/disenyumin sampai inspirasi datang/sambat/menyalahkan/langsung dikerjakan (yang terakhir ini sepertinya hanya berlaku bagi orang-orang terpilih, sepertiPower Rangers), itu semua tergantung pada diri kita masing-masing.
Kemarahan dan Tersingkapnya Kebodohan
Sama halnya dengan kehidupan kita sehari-hari. Apabila kita bertemu dengan sebuah problematika, kita bebas memilih sikap mana yang kita kehendaki untuk menghadapinya. Namun, perlu diingat bahwa tak semua sikap itu baik dan benar. Pertanyaannya, sadarkah kita akan sikap yang seharusnya tak dilakukan? Atau kita mengelak, enggan mengakui bahwa apa yang kita lakukan salah dan justru mencari pembenaran terhadapnya?
Bicara soal respon terhadap problematika, maka fokusnya adalah emosi. Dalam KBBI, kata emosi memiliki beberapa makna. Di antaranya, yakni “Keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan); Keberanian yang bersifat subjektif; Marah”. Kali ini kami akan mengambil makna yang ketiga, alasannya karena memang umumnya ketika orang menyebut kata emosi, maka yang ia maksud adalah “Marah”. Marah terhadap suatu permasalahan yang menimpa adalah hal yang wajar-wajar saja. Namun, sayangnya banyak orang salah bersikap kala dirinya marah.
Contoh dari hal di atas yang mudah ditemui terdapat pada orang-orang yang meluapkan amarahnya dengan cara mencaci. Apa yang mereka katakan sering kali banyak salahnya, bahkan tak jarang bertentangan dengan fakta dan akal sehat. Ini justru membuat orang yang marah, wibawanya hancur karena kebodohannya tersingkap. Faktaya memang demikian, berbicara saat diri kita marah kerap kali membuat orang yang mendengarnya malah semakin membenci kita. Apalagi kalau bicaranya salah, tak menutup kemungkinan itu justru digunakan sebagai kesempatan untuk mempermalukan kita.
Dilansir dari laman m.klikdokter.com, ketika seseorang marah, terjadi penurunan kemampuan untuk memproses informasi yang kompleks. Hal itu disebabkan karena perhatian orang yang marah hanya terfokus pada pemicu kemarahan saja.
Inilah yang kemudian menjadikan orang yang marah sulit memahami sesuatu, akibatnya apa yang ia ucapkan jauh dari kata “Masuk akal”. Oleh karena itu lah, perlu adanya pengendalian terhadap rasa marah agar akibat yang ditimbulkannya tidak fatal seperti yang telah dikemukakan di atas.
Cara Meredam Amarah
Mengendalikan amarah memang bukan hal yang mudah. Tapi bukan berarti itu tak mungkin dilakukan. Sebagai manusia, kita merupakan sosok pembelajar, apapun itu bisa kita pelajari asal kita mau. Termasuk mengendalikan amarah. Kita bisa mulai dari sekarang dan dari hal yang paling sederhana. Contohnya, seperti perintah Nabi Saw berikut:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ، فَلْيَسْكُتْ
“Jika salah seorang di antara kalian marah, diamlah!.” (HR. Ahmad)
Perintah Nabi Saw. tersebut tentu tak nihil makna, pasti ada hikmah besar yang terkandung di dalamnya. Buktinya, diam saat marah selalu lebih menjamin keselamatan daripada berbicara. Sehingga, kita tak terjerumus dalam kemarahan dan kebodohan.
Bila kita diam saat marah, martabat kita tak akan jatuh. Selain itu, dengan diam kita akan merasa lebih dekat dengan ketenangan. Ketenangan inilah yang paling kita butuhkan saat diri kita diliputi rasa marah. Semoga kita menjadi manusia yang bisa mengendalikan amarah, sehingga kita jauh dari kerugian. Aamiin.
Comments