Musik tak pernah jauh dari dunia visual. Bahkan beberapa pegiat musik lebih menggunakan visual sebagai serangan utama dalam bermusik ketimbang teknik bermusik dalam memainkan instrumen suara itu sendiri. 

Strategi Poster di Setiap Sudut Kota Ala SKDI

Jika Sex Pistols punya satu orang yang tidak bisa memainkan instrumen musik, dan orang itu ialah Sid Vicious, maka lain ceritanya dengan  Steak Daging Kacang Ijo (SKDI), seniman visual di ISI Jogja di era 90-an. Mereka adalah sebuah grup di mana dari empat orang personilnya, hanya ada satu personil yang bisa memainkan instrumen musik, dan tiga sisanya hanya modal nyawa dan tentunya skill menggambar.

Seperti yang dikupas di buku Menanam Padi di Langit, saat keempatnya baru membentuk sebuah band dari buah keisengan, mereka langsung melakukan sebuah agenda: menyebarkan poster di setiap sudut kota. Yah, mereka berhasil membuat orang-orang penasaran. Seberapa jago band ini? Gebrakan macam apa yang akan band ini lakukan? Apakah sehebat Nirvana yang merevolusi gaya bermusik dunia di era 90-an atau sehebat Pulp dkk dalam menyebarkan sekte Britpop di era 90-an? Tapi yang jelas nama mereka langsung kondyang, hanya bermodal gambar. 

Rasa penasaran itu dibalas dengan penampilan yang biasa saja di panggung pertama mereka. Beruntungnya mereka langsung menyanyikan lagu “Darah Juang” yang membuat massa di panggung pertama mereka sing along. Hanya itulah momen yang membuat mereka pulang dengan rasa tak malu-malu amat.

The Upstairs: Gebrakan Skena Musik Lewat Kostum Visual

SDKI adalah satu dari sekian contoh bagaimana anak visual nyemplung ke dunia suara. Era 2000-an tentu penikmat musik tak asing dengan sosok Jimmy Multhazam, abang-abangan skena indie di era itu. Atau di Jogja, tentu tak asing dengan Farid Stevy. Seniman gambar asal Bumi Handayani yang sama berhasilnya ketika ia dan FSTVLST dikenal di kalangan penikmat musik. 

Besar di dunia gambar, mereka menggunakan pendekatan visual dalam membungkus sebuah karya, bahwa visual itu sama pentingnya dengan suara, pun dalam menulis sebuah lagu, mereka berandai-andai bahwa mereka sedang melukis di atas kanvas. Dan tanpa keraguan, mereka adalah dua dari sekian musisi dengan penulisan lagu yang nyeni sekaligus tidak biasa serta sering tidak berpola, yang kata Farid Stevy tidak patut ditiru penulis lain. Pengakuannya di channel YouTube Siasat Partikelir.

Paling menarik tentu tentang bagaimana Jimmy Multhazam dan The Upstairs mengacak-acak skena musik Jakarta kala itu. Satu konsep yang ia bawa dan kemudian booming ialah soal penampilan, lagi-lagi soal visual. Ya, The Upstairs dengan pakaian warna-warni yang serba mencoloknya mampu menjangkiti anak muda kala itu, yang mana di era sebelumnya baginya skena musik di Jakarta tampil monoton dengan pakaian serba gelap. Sebuah konsep yang ia dapat sejak melihat gitar mencolok milik Eddie van Halen. Tak peduli seberapa jago ia memainkan alatnya, visualnya sudah cukup membuat jatuh hati.

Dari Mata Bergeser ke Telinga

Kembali lagi soal poster-poster sensasional SDKI yang sukses membuat mereka dikenal duluan, sekalipun mereka belum naik ke atas panggung. Mungkin kamu adalah satu dari sekian orang yang lebih familiar dengan album beberapa musisi ketimbang  lagunya. Atau setidaknya mengenal mereka lewat cover albumnya.

Contoh yang paling sering ditemui mungkin soal cover bergambar gelombang radio di album Unknown Pleasures milik Joy Division. Atau cahaya pelangi yang menembus segitiga milik Pink Floyd di album Dark Side of The Moon. Tak peduli dari mana kamu melihatnya, entah dari kaus-kaus bajakan hingga beberapa iklan di internet, saya yakin kalian pasti sudah tidak asing dengan dua cover album ini. Jika saya tertarik memutar The Beatles dari nama besar-nya, Oasis dari lagu “Don’t Look Back in Anger”, Nirvana dengan sosok Kurt Cobain, mulai familiar dengan lagu Dory Harsa dari parodi di internet, saya baru memutar lagu Joy Division dan Pink Floyd setelah keseringan melihat dua cover itu.

Belum lagi soal logo. The Stone Roses dengan lemon-nya, Rolling Stones dengan mulut dan lidahnya, dan Seringai dan Metallica dengan font-nya. Tak peduli dari mana kalian melihatnya, mungkin ada sebagian di antara kalian yang lebih mengenal mereka dari logonya ketimbang musiknya. Bahkan, sekalipun hafal dengan setiap garisnya, tak menutup kemungkinan beberapa orang bahkan tak hafal sekalipun penggalan lirik di reff lagu-nya. 

Yah, seperti itulah cara visual mempengaruhi musik. Bahwa visual kadang lebih dari sekadar potongan timun dan kol di atas nasi goreng. Seperti mana cinta, yang dari mata turun ke hati. Musik pun begitu, dari mata bergeser ke telinga.

Penyunting: Halimah