Manusia adalah makhluk sosial, merupakan kalimat klasik yang mungkin telah kita dengar sejak duduk di tingkat sekolah dasar. Maknanya, tentu saja bisa berbeda bagi setiap orang. Bisa pula berbeda bagi orang yang sama, di suatu kondisi yang berbeda.
Ketika kanak-kanak, barangkali kita memahami kalimat tersebut dengan saling membantu teman yang membutuhkan. Ketika remaja, bisa saja tafsirnya adalah makhluk yang saling membutuhkan dalam hubungan peer-group. Tetapi ketika dewasa, pemahaman tentangnya sangat mungkin berkembang menjadi makhluk dengan rentetan konsekuensi yang menyertai seperti saling menyayangi dan disayangi; dibuat kecewa dan mengecewakan; membenci dan dibenci; barangkali termasuk konsekuensi untuk—suatu waktu—melukai dan dilukai.
Namun bagaimana pun kita memaknai, agaknya highlight utama dari kalimat di atas adalah tentang membangun interaksi dengan orang lain—suatu kondisi yang membuat kita tidak bisa menafikan bahwa gesekan emosional pasti terjadi. Akan ada banyak sekali emosi yang kita rasakan sepanjang rentang kehidupan yang kita lalui. Kita memiliki ekspektasi dan harapan yang tidak keseluruhannya dapat kita genggam. Kita gagal, takut, malu, dan hati kita patah berkali-kali. Di kondisi yang lebih ekstrim, kita dapat dengan brutal membenci diri sendiri.
Adalah keniscayaan bahwa kita akan diuji dan berpotensi mengalami hal-hal baik dan buruk dalam hidup ini. Tapi jika hal itu membuatmu kewalahan untuk menangani, bukan hal yang salah untuk meminta bantuan entah pada orang di sekitar atau bantuan dari profesional.
Stigma bahwa mengunjungi tenaga kesehatan jiwa hanya diperuntukkan bagi orang gila (baca: skizofrenia), harus pula kita buang jauh-jauh. Psikolog/psikiater tidak hanya dilatih untuk menangani satu gangguan mental dan bukan tidak mungkin orang-orang biasa seperti kita juga membutuhkannya. Jika menilik pendapat Gustav Jung, salah satu tokoh dalam aliran psikoanalitik, individu normal seperti kita sederhananya adalah versi ringan dari kondisi yang ditemukan dalam patologi.
Lalu, alasan apa saja yang membuat kita harus segera mengunjungi psikolog? Yuk, kenali tanda-tanda kamu sedang membutuhkan suatu layanan psikologi.
1. Saat Kamu Mempunyai Masalah yang Sangat Mengganggu
Tak ada hidup yang tanpa masalah. Terkadang, masalah justru bisa mengantarkan kita untuk menjadi manusia dewasa yang bisa merasakan sesuatu, berpikir, dan bertindak dengan cara yang lebih bijaksana. Tapi perhatikan, ketika suatu masalah membuat aktivitas keseharianmu terganggu dan kamu sudah mencoba mengatasi masalahmu tapi tidak kunjung berhasil, mengunjungi tenaga kesehatan jiwa sangat layak untuk dipertimbangkan.
2. Terdapat Pikiran yang Sulit Dikendalikan
Ketika kamu gelisah dengan pikiranmu sendiri, terdapat perubahan sikap, perilaku, dan pola aktivitas yang dirasa tidak wajar, kamu harus lebih waspada dengan kondisi kesehatan mentalmu.
3. Mengalami Peristiwa Traumatis
Peristiwa traumatis merupakan salah satu stressor yang sangat berpotensi bagi seseorang untuk mengalami gangguan kesehatan mental. Jika kamu baru saja mengalami peristiwa traumatis atau merasa terganggu dengan pengalaman traumatismu di masa lalu, segera kunjungi psikolog agar hal tersebut tidak menjadi perasaan negatif berkepanjangan.
4. Melakukan Pelarian yang Buruk
Ketika kamu menyadari telah melakukan coping yang maladaptif seperti menggunakan obat terlarang, menonton video porno, minum-minuman keras dan hal semacamnya, ketahuilah, bahwa hal itu tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalahmu. Mengunjungi psikolog adalah cara terbaik untuk menghindari kita melakukan pelarian ke aktivitas yang buruk.
5. Melakukan Perilaku Berbahaya
Perilaku berbahaya seperti melukai diri (self-harm) dengan membenturkan kepala, melukai tangan, melempar barang, atau menyerang orang lain adalah tanda yang tidak bisa diabaikan dan kamu harus segera mengunjungi profesional kesehatan jiwa.
Mengunjungi psikolog seharusnya bukan lagi menjadi hal tabu. Masalahmu mungkin tidak selesai hanya dalam satu sesi. Karenanya, kamu pun harus tahu bahwa psikolog bukan ustadz yang memberi nasihat, bukan dokter yang meresepkan obat, bahkan bukan dukun yang memberi jimat. Psikolog ada untuk menjadi cermin, membantu menemanimu berproses untuk melihat permasalahanmu dengan lebih bijaksana, dan bersama-sama mengatasinya dengan cara yang lebih bermakna.
Seperti pepatah latin yang sering kita dengar, men sana in corpore sano. Kesehatan fisik dan mental kita harus balance. Karena tidak akan terwujud tubuh yang sehat, jika tidak diimbangi pula dengan jiwa dan pikiran yang kuat. Saat ini ketika kita dengan sukarela bahkan susah payah berinvestasi untuk menjaga kesehatan raga kita dan menjauhkannya dari berbagai penyakit, sudah seberapa besar upaya yang telah kita lakukan untuk menyembuhkan jiwa kita yang koyak dan terluka?
Comments