Saya pikir, semua orang Indonesia suka makan nasi. Apalagi, orang-orang di sekitar saya selalu berkata bahwa, “Belum makan namanya, kalau nasi belum masuk ke dalam perut.” Pengandaian tersebut awet dari generasi ke generasi. Di sisi lain, saya merasa maklum karena nasi menjadi sumber karbohidrat utama di negara kita. Saya pun dibesarkan di lingkungan yang menjadikan nasi sebagai sumber energi dalam beraktivitas.

Sarapannya makan nasi. Makan siang pakai nasi. Makan malam pun nasi lagi. Jadi, tidak bisa dipungkiri, hal ini memang sudah menjadi kebiasaan yang diturunkan dari para orang tua terdahulu.

Tapi, perkiraan awal saya tentang semua orang Indonesia suka makan nasi terpatahkan ketika saya berteman dengan beberapa orang yang, tidak suka makan nasi sama sekali. Sama sekali. Saya juga menjadi saksi ketika mereka memaksakan diri makan nasi, kejadian selanjutnya malah muntah. Bahkan, bisa lebih parah.

Akhirnya, saya coba bertanya dan menggali informasi kepada mereka: kenapa bisa seperti itu, apa awal mulanya? Lalu, apa saja alternatif makanan pokok mereka tanpa nasi?

Alasan tidak suka makan nasi #1 Trauma

Salah satu teman saya mengungkapkan bahwa, sampai saat ini, ia tidak pernah ingin makan nasi. Tidak sekalipun. Alasannya adalah trauma masa kecil. Pernah suatu ketika, saat sedang makan, entah kenapa ia merasa mual. Dan memuntahkan makanannya berkali-kali hingga perutnya merasa sakit. Ia melihat muntahan nasi yang berserakan seperti mendapat mimpi buruk saat tidur terlelap.

Sejak saat itu, karena kenangan buruk tersebut terus menghantui, ia tidak ingin lagi makan nasi. Ia selalu berpikir bahwa hal serupa akan terus dirasakan selama mengonsumsi nasi. Akhirnya, agar tetap mendapat asupan karbohidrat, ia memilih mi, kwetiau, kentang, dan lain sebagainya untuk dikonsumsi bersamaan dengan lauk pauk lainnya.

#2 Sugesti

Alasan kedua ini terbilang cukup ekstrem. Karena teman saya yang lain selalu menganggap juga membayangkan, beras atau nasi mirip seperti belatung. Masih ada kaitannya terhadap trauma masa kecil, tapi tidak secara langsung. Sebab, saat kecil, ia melihat dan membayangkan beras seperti belatung yang menggeliat. Geli-geli gimana~ gitu.

Saya tidak melihat hal ini sebagai sesuatu yang menyeramkan. Karena setiap orang bisa saja memiliki trauma masa lalu yang tidak disadari dan terbawa hingga dewasa. Yang pada akhirnya, menjadi sugesti yang berlanjut.

#3 Kebiasaan

Seorang teman yang lain mengaku tidak suka makan nasi sama sekali karena kebiasaan sejak kecil. Paling tidak saat ia sudah bisa membedakan mana nasi, mana lontong, dan mana bubur.

Sejak masih kecil, alih-alih dibiasakan makan nasi, ia malah terbiasa makan nasi yang diolah. Entah menjadi bubur atau lontong. Ia memang tidak bisa makan nasi karena tidak selera. Tapi, masih bisa makan bubur atau lontong.

Pernah ia memaksa diri makan nasi. Hasilnya malah muntah. Menurutnya, antara nggak selera dan mual. Jadi, alternatif lainnya ya makan roti ketika sarapan, makan siang, dan makan malam. Uniknya, ia betul-betul bisa makan lauk apa pun dengan lontong. Termasuk ketika ia makan mi ayam dan mi instan. Asal bukan nasi, katanya, enggak apa-apa.

***

Saya sangat memahami beberapa alasan yang diutarakan oleh teman saya. Paling tidak, pengetahuan saya jadi bertambah. Ternyata, pernyataan mengenai orang Indonesia belum kenyang kalau belum makan nasi, tidak sepenuhnya benar dan bisa digunakan setiap saat. Ada sisi lain yang belum terungkap dan belum diketahui khalayak.

Hampir semua teman saya yang tidak makan nasi karena berbagai alasan tersebut, sering kali digoda oleh teman lainnya dan mendapat pertanyaan template:

“Kok bisa sih nggak makan nasi? Emang nggak lemes?”

“Emang udah coba makan nasi lagi?”

Sebab, beberapa teman saya yang tidak makan nasi sering dikira sedang diet. Dan dietnya tersebut dianggap berlebihan karena nggak mau makan nasi. Padahal alasan utama enggak makan nasi bukan karena itu.

Meski pada awalnya teman saya risih, tapi perlahan ia sudah mulai terbiasa dengan berbagai pertanyaan yang diajukan dan tetap menjalani hidup sebagaimana mestinya.

Penulis: Seto Wicaksono

Penyunting: Aunillah Ahmad