Sebagai salah satu lulusan Universitas Islam Negeri (UIN), saya mengerti kampus ini kerap disalahpahami. Nggak perlu jauh-jauh melirik kesalahpahaman di kampus UIN tetangga. Di kampus UIN sendiri pun kerap terjadi kesalahpahaman.

Bentuk kesalahpahamannya pun beragam. Ada yang mengira UIN itu bukan Perguruan Tinggi Negeri. Jurusan di UIN cuma ada agama saja. Sampai ada yang menyangka bahwa seluruh lulusan UIN mesti jadi pemuka agama.

Terus terang, sebenarnya tak mengherankan bila sering terjadi kesalahpahaman tentang UIN. Mengingat ada beberapa alasan yang membuat UIN bisa disalahpahami. Berikut alasan yang membuat UIN kerap disalahpahami:

UIN ada banyak

UIN itu kampus yang konsepnya mirip bisnis waralaba macam Indomaret dan Alfamart. Pasalnya, UIN menyebar di seluruh pelosok negeri. Dari Sabang sampai Marauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.

Paling tidak ada satu UIN atau Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) pada setiap provinsi di Indonesia. Bahkan di Jawa Tengah sendiri minimal ada lima UIN. Ada UIN Walisongo, UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, UIN Raden Mas Said, UIN K.H. Abdurrahman Wahid dan UIN Salatiga. Belum ditambah satu PTKIN lain yaitu IAIN Kudus.

Dengan jumlah UIN yang tak sedikit, wajar saja jika muncul kesalahpahaman. Terlebih saat membahas UIN jarang sekali yang menyebut namanya secara lengkap. Mau itu UIN Walisongo atau UIN Sunan Kalijaga, ketika di obrolan hanya disebut UIN saja.

Kurang populer

Kalau ada kasta di PTN, UIN mungkin berada pada kelas terendah . Meski lulusan UIN, saya nggak bisa menyangkal hal tersebut. Karena begitu memang realitanya di masyarakat. Sekali pun telah banyak UIN yang berbenah, guna bersaing dengan PTN umum.

Mungkin kalian pernah mendengar hal tersebut. Melalui sebuah kelakar yang menyatakan bahwa anak UNY itu yang nggak lolos masuk UGM. Sementara anak UIN itu yang tidak lolos seleksi masuk UNY.

Karena berada di kelas terendah kasta PTN, wajar jika UIN kurang populer di masyarakat. Sehingga memunculkan berbagai kesalahpahaman terkait UIN. Salah satu bukti UIN kurang populer di masyarakat adalah saat orang tak dikenal bertanya kuliah di mana kepada saya, kemudian saya menjawab kuliah di Semarang, orang tersebut melanjutkan pertanyaannya dengan ungkapan begini “oh di Semarang, kampusnya UNDIP atau UNNES?”. Nyaris nggak ada yang menyebutkan UIN.

Alih status kampus

Dari status kampus saja UIN tuh bisa bikin salah paham. Pasalnya, mayoritas status UIN dulunya belum langsung universitas. Melainkan masih institut (IAIN) atau sekolah tinggi (STAIN). Kampus saya UIN Walisongo, dulu pertama kali saya masuk namanya masih Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo. Setelah saya kuliah selama kurang lebih satu tahun, baru statusnya beralih menjadi UIN.

Perubahan status ini tak mudah cepat diketahui serta diterima masyarakat luas di Semarang dan sekitarnya. Makanya masih ada saja orang yang menyebut UIN Walisongo dengan IAIN. Sebab, nama IAIN kadung melekat di kepala masyarakat, khususnya pada orang-orang yang berusia lanjut.

Kerap berganti nama

UIN bukan hanya kerap berganti status saja. UIN juga kerap berganti nama. Umumnya pergantian nama ini diiringi dengan pergantian status kampus. Misalnya UIN K.H. Abdurrahman Wahid, sebelumnya namanya adalah IAIN Pekalongan.

Perubahan nama yang cukup kontras tersebut membuat orang kadang salah paham kalau UIN K.H. Abdurrahman Wahid dengan IAIN Pekalongan adalah dua kampus yang berbeda. Sekali pun nama tokoh yang dipakai sebagai nama kampus sangat populer. Apalagi kalau nama baru kampusnya hanya sebatas tokoh daerah saja, berpotensi lebih besar lagi menimbulkan salah paham di masyarakat umum.

Keunikan UIN jarang dibahas

Keunikan di UIN itu kadang jarang dibahas. Salah satu keunikan UIN yang jarang dibahas adalah setiap mahasiswa yang mau lulus/sidang skripsi/wisuda wajib lulus dua ujian bahasa. Bukan hanya ujian TOEFL untuk bahasa inggris saja. Umumnya, mahasiswa UIN mesti lulus ujian bahasa arab (TOAFL) juga.

Bagi saya ini sebuah keunikan. Soalnya saya nyaris nggak menemukan ada kampus di luar PTKIN yang wajib lulus TOEFL dan TOAFL. Sekali pun itu kampus islam. Lebih-lebih kampus umum biasa.

Keunikan UIN dianggap biasa

Salah satu culture shock saya di UIN adalah mau apa pun jurusan kuliahnya, harus banget mengikuti mata kuliah wajib agama. Bukan hanya satu mata kuliah pendidikan agama islam doang ya. Tapi, ada banyak macam mata kuliah agama di UIN. Beberapa contoh mata kuliah agama yang masih saya ingat adalah ulmul qur’an, pengantar studi islam, fiqh dsb.

Maklum saja kalau saya mengalami culture shock tersebut, karena saya ini lulusan SMA yang kuliah di UIN. Berbeda dengan mayoritas teman saya yang merupakan lulusan MA atau pondok. Mereka menganggap mata kuliah agama merupakan hal biasa. Makanan sehari-hari mereka waktu masih MA atau mondok.

Begitu sekiranya latar belakang terjadinya banyak kesalahpahaman terkait UIN di masyarakat. Oleh sebab itu, buat kamu maba UIN, nggak perlu kagetan andai ketemu orang nggak dikenal yang salah paham dengan kampusmu. Itu sudah biasa dan akan kamu temukan lagi di masa depan.

Editor: Assalimi

Gambar: