Beberapa hari lalu penulis kenamaan Indonesia Eka Kurniawan sempat dituduh menginspirasi seorang perempuan melakukan open BO. Cerita ini bermula dari acara malam malam net yang mengundang perempuan yang berprofesi sebagai pelacur. Dalam wawancaranya, mbaknya mengaku menjual diri sejak berumur 16 tahun dengan alasan yang cukup kapitalistik. Tubuh adalah alat kerja, privilege yang dia miliki adalah tubuhnya indah, sebuah modal yang harus dimanfaatkan untuk menghasilkan uang.

Masalahnya kemudian, ketika mbak yang kesehariannya open BO tersebut ditanya soal alasannya tetap bertahan melakukan pekerjaan menjajakkan diri, dia menjawab pertanyaan tersebut dengan mengutip dialog dalam buku ‘Cantik itu Luka’ karya Eka Kurniawan yang berbunyi “semua perempuan itu pelacur, sebab seorang istri baik baik pun menjual kemaluannya demi mas kawin dan uang belanja atau cinta jika itu ada”

Sontak semua orang di negeri ini yang hobi kutip sana sini tanpa membaca bukunya secara lengkap langsung marah sampai ada yang ngetwitt mau geprak kepala Eka Kurniawan segala. Sebagai pembaca buku cantik itu luka saya tidak terima, mengutip sebuah dialog tanpa membaca keseluruhan bukunya jelas tidak mengerti konteks. Menyamakan istri dan pelacur hanya karena satu dialok dalam buku adalah sesat berfikir.

Lagipula nih ya, menyalahkan Eka Kurniawan karena bukunya dianggap jadi pembelaan seorang pelacur tentu saja keliru, pihak yang paling layak disalahkan dalam kasus  ini adalah negara. Mengapa segala negara dibawa bawa dalam urusan open BO? Ya jelas dong, masalah perempuan menjual diri disaat umur saja belum genap 17 tahun erat kaitannya dengan kegagalan negara mensejahterakan rakyatnya.

Saya bukannya membenci negara dengan membabi buta. Tapi, sebagai perempuan harus saya akui banyak sekali faktor yang membuat kita susah hidup layak di negara ini, hal itu tentu saja menjadi faktor pendorong  beberapa perempuan yang tak berdaya akhirnya mengambil jalan pintas agar bisa survive dalam permainan kehidupan yang tidak adil ini. Berikut beberapa faktor yang menurut saya memiliki peran penting mendorong masifnya per open BO-an duniawi.

Pertama, biaya kuliah mahal. Di Indonesia, jika mau bekerja di tempat yang memberikan upah layak, tingkat pendidikan itu penting. Nggak percaya? coba buka iklan lowongan kerja, selalu ada syarat jenjang pendidikan di sana, semakin tinggi pendidikannya semakin besar pula gajinya. Bahkan sekarang ini makin sulit mencari kerja jika hanya ber-ijazah SMA. Sementara tidak semua orang punya uang yang cukup untuk berkuliah karena biaya kuliah yang sundul langit.

Ambil contoh kuliah di UI ya, apabila biaya per-semesternya berada di rentang 10 juta sampai 20 juta. Jika buruh hanya digaji UMK Jakarta senilai 4.3 juta rupiah, apakah mungkin untuk membiayai kuliah anak di UI? Itu baru biaya kuliah saja loh ya, belum biaya membeli keperluan kuliah, seperti buku, laptop, makanan dan kos-kosan. Tidak hanya itu, inflasi pendidikan di negara kita juga sangat tinggi, mencapai 10-15% pertahunnya.

Kembali ke soal open BO, mbak yang membuka jasa open BO tersebut mengatakan jika dia berkuliah di dua jurusan (double major), udah gitu aktif di Persma lagi. Jika mbaknya bekerja sambilan sebagai barista di kedai kopi, apakah memungkinkan bagi dia kuliah di dua jurusan dan aktif di Persma? Boro-boro ambil double major, ambil satu jurusan sambil bekerja sudah cukup menguras waktu.

Bukan, saya bukan bermaksud membela perempuan yang menjual diri. Tapi saya hanya ingin mengatakan jika pemerintah menggratiskan kuliah atau setidaknya membuatnya semurah mungkin agar terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, pilihan untuk melacurkan diri tentu saja tidak akan terjadi.

Kedua, lapangan pekerjaan untuk perempuan terbatas. ILO (organisasi buruh perempuan) mencatat bahwa perempuan di seluruh dunia lebih susah mencari pekerjaan dan digaji lebih rendah. Secara global hanya ada enam perempuan yang mendapatkan pekerjaan dari sepuluh pria yang bekerja, kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan tersebut makin lebar di negara yang masih berkembang, termasuk Indonesia.

Saat terjadi pendemi seperti sekarang ini, perempuan Indonesia juga lebih susah mencari pekerjaan baru. Salah satu faktor penyebabnya karena perempuan banyak mengisi sektor yang mengharuskan dia bertemu dengan banyak orang atau sektor yang mewajibkannya berada di pabrik. Sederhananya, sebagian besar perempuan bekerja pada ranah informal atau tidak berada pada posisi penting dalam sebuah perusahaan sehingga lebih rawan terkena PHK dan kebijakan semena mena lainnya.

Permasalahan buruh perempuan lebih komplek dari pada buruh laki-laki. Jika lelaki cukup dengan membuktikan diri melalui kamampuan yang dimiliki, perempuan harus melakukan lebih dari itu karena harus berhadapan juga dengan norma sosial dan lingkungan. Perempuan susah cari kerja setelah melahirkan, perempuan mendapatkan pelecehan di kantor, perempuan susah mendapatkan cuti hamil adalah sedikit contoh betapa rumitnya menjadi pekerja perempuan.

Hal tersebut diperparah dengan harga kebutuhan pokok dan biaya hidup yang terus naik tinggi sementara upah pekerja seolah jalan ditempat karena kenaikkanya tak signifikan.

Jadi, permasalahnnya bukan pada ketidakmampuan perempuan untuk bekerja atau kurangnya partisipasi perempuan di ranah publik, tapi kurangnya pemerintah memberikan ruang bagi perempuan untuk mengeksplorasi diri. Untuk mengembangkan potensi di dalam dirinya agar berhasil sampai pada posisi yang strategis di perusahaan atau pemerintahan. Kesulitan perempuan mendapatkan pekerjaan dengan gaji layak turut mendorong keputusannya untuk menjajakan diri demi hidup yang lebih mudah.

Ketiga, tidak adanya pendidikan sex sejak dini. Bayangkan saja, ada perempuan dibawah umur sudah punya pikiran menjual tubuhnya kepada lelaki hidung belang. Padahal, menjual diri itu resikonya tinggi, rentan tertular penyakit kelamin yang mengakibatkan kematian. Apakah anak umur enam belas tahun sudah berani mengahadapi risiko kematian akibat penyakit seksual? Jangan jangan sebenarnya dia awam. Tahunya hanya sekedar membuka selangkangan dan dapat banyak uang.

Disini menjadi penting bagi negara untuk memberikan edukasi sex sejak dini di sekolah. Tidak hanya untuk meminimalisir terjadinya kasus pelacuran atau kehamilan di luar nikah padahal belum siap menjadi ibu dan bapak, tapi juga supaya perempuan sadar betul akan kesehatan tubuhnya, akan risiko yang harus dihadapi andai dia melakukan hubungan seksual yang belum seharusnya dilakukan.

Kesimpulannya, negara adalah pihak yang seharusnya memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi di masyarakat, sekalipun itu soal open BO. Jika perempuan dimudahkan akses pendidikannya, pekerjaannya, dan didukung aktifitas luar rumahnya dengan mengesahkan undang undang yang berpihak kepada perempuan saat terjadi kekerasan sesksual atau pelecehan. Saya rasa semua perempuan lebih suka bekerja di dalam kantor dari pada di dalam kamar hotel bersama lelaki hidung belang.

Editor: Nawa

Gambar: PRESISI.CO