Selain penyerobot antrian, salah satu tipe pembeli yang menyebalkan di depan kasir adalah kaum “dompet-selo”. Maksudnya, pembeli baru mengeluarkan dompetnya setelah mbak kasir menyebut jumlah yang harus dibayar.
Prosesi pembayaran pun biasanya diawali dengan repetisi, “Berapa mbak?” Padahal, angka “tagihan” juga sudah tertera segede gaban di mesin kasir. Buat saya, menunggu pembeli yang belum siap dengan dompet di depan kasir adalah suatu hal yang menyebalkan. Dompet seharusnya sudah siap sedia ketika barang belanjaan sedang dijungkirbalikin oleh mbak kasir.
Harusnya, proses transaksi di depan mesin kasir tidak perlu delay oleh hal-hal yang nggak penting seperti ini. Apalagi kalau antrian sudah nguler dari subuh gitu. Jelas, para pengantri kasir lainnya tidak perlu disuguhi drama keleletan pembeli yang nggak perlu. Mulai dari ngoprek tas cari dompet, terus milih-milih kartu mana yang akan dipakai bayar, dan nanya ke si mbak kartu mana yang paling besar diskonnya. Belum lagi, kalau ternyata beberapa kartu yang disodorkan gagal transaksi. Pada akhirnya, sang pembeli bayarnya cash juga. Dih!
Ketahuilah, hai para pembeli depan kasir! Pada saat giliran tiba, otomatis kalianlah “sang artis utama” yang menjadi spot perhatian dari para pengantri yang kurang kerjaan di belakang kalian. Jangankan koprol bolak-balik, buka resleting tas aja udah bisa jadi atensi warga sekitar. Coba deh perhatikan. Walaupun tanpa kata, namun tatapan mata pengantri lainnya umumnya diartikan sebagai “Buruan, woy!”
Jadi, daripada saya ngomel nggak guna menambah dosa, akhirnya saya mencoba menganalisa apa alasan orang-orang tersebut menjadi “dompet-selo” saat tiba di depan kasir. Paling tidak, terdapat tiga alasan.
Pertama, Si Dompet-Selo Ribet dengan Urusan Sendiri
Sering saya melihat kaum dompet-selo ini keribetan dengan urusannya sendiri. Karena nggak mau pakai keranjang atau troli, jadilah tangan dan badan yang sibuk menopang printilan belanjaan. Eh, sambil gendong anak pula. Lah, gimana mau menyiapkan dompet sebelumnya? Belum lagi saat tiba giliran bayar, masih nyambi vidcall-an. Dan saya sebagai pengantri setelahnya kudu memaklumi kondisi blio? Ah, super sekali!
Pernah juga satu kesempatan saya melihat seorang ibu yang keribetan sama penampilannya. Rok yang (bandel) naik sendiri, tas slempang yang kecantol ujung meja kasir, ditambah rentengan gelang yang gemerincing bikin pusing. Kebayang, kan bagaimana proses ngambil dompetnya jadi hiburan tersendiri buat saya dan gabuters antrian lainnya?
Kedua, Beda Kalkulasi
Lain waktu saya amati, ada juga pembeli yang akhirnya malah bengong setelah si mbak menyebutkan jumlah yang harus dibayar. Saya rasa, blio sedang berusaha menyamakan perhitungan di kasir dengan kalkulasi manual di otaknya yang beda seribu tiga ratus lima puluh perak. Lalu, proses perhitungan ulang pun ditampilkan dalam bentuk bengong sejenak di depan kasir.
Kadang, saya coba berpikir positif saja. Bisa jadi, uang yang dibawanya tidak mencukupi. Namun, biasanya kalau seperti itu, blio akan langsung mengurangi belanjaannya.
Lain ceritanya jika sang pembeli yang memang pada dasarnya lelet. Biasanya hal ini ditunjukkan dengan proses mengeluarkan dompet yang super duper selo, dan pilah-pilih lembaran duit ala Srimulat. Kadang hal ini suka “diperparah” dengan pertanyaan mbak kasir, “Ada koin lima ratus, Pak/Bu?”. Dan pembeli pun ritual buka dompet lagi. Haiyaaa…
Ketiga, Memanfaatkan Momen Depan Kasir Semaksimal Mungkin
Saya perhatikan, ada juga nih pembeli yang luamaaa di depan kasir karena mengajak si mbak ngobrol. Nggak ngerti juga, apakah mbak kasir mirip mantan pacarnya, sahabatnya yang hilang, atau malah putrinya yang tertukar. Yang jelas, begitu giliran tatap mukanya dengan si mbak tiba, seperti nggak mau rugi gitu udah ngantri lama, tapi pas bayar sebentar doang.
Yang ditanyain pun macam-macam. Mulai dari yang ada hubungannya dengan belanjaan dan kerjaan si mbak, sampai yang modus. “Mbak saya nggak bawa kartu member, tapi bisa dicari dari nomer hape kan? Bentar saya cari dulu nomer hape saya, saya nggak apal”. Atau, “Mbak, hadiah gelasnya bisa ditukar sama panci nggak?” Sampai, “Mbak pinter banget ngetiknya, sekolah dimana?” Pfff…
Eh tolong. Bukannya nggak boleh ngobrol, tapi mbok ya liat-liat sikon. Ini yang nunggu giliran ngobrol sama mbak kasir mau bayar, banyak lho. Cobalah toleran seddikit sama yang sudah pada ngantri itu!
Btw, itu dompet udah dikeluarin belum?
Editor: Nirwansyah
Comments