Secara pribadi, saya sebenarnya sudah cukup resah dengan adanya seks bebas dan KDRT. Resah dalam artian, secara sosial dan hukum sepertinya masyarakat kita ini mengalami miskonsepsi dalam berpikir dan bertindak. Menurut saya, sejauh ini kita cukup gagal berperan sebagai masyarakat, khususnya dalam menyikapi dua hal di atas.

Di sini saya beranjak dari kacamata sosial dan hukum positif saja ya, bukan kacamata agama. Yang tentu apabila kita meninjau dari kacamata agama, dua hal di atas merupakan dua hal yang terlarang. Akan tetapi, dalam kacamata sosial dan hukum, menurut saya kita saat ini sedang kehilangan arah pandang. Atau mungkin bisa dianggap sebagai keterbalikan arah pandang.

Dalam kasus di atas, kita tidak jarang melihat aksi persekusi berupa pengarakan oleh masyarakat, penggerebekan sampai dengan perekaman dengan bumbu-bumbu bullying bahkan bisa masuk kategori pelecehan terhadap orang atau pasangan sejoli yang sedang melakukan hubungan seks bebas, atau dalam hal ini saya spesifikkan dengan definisi hubungan seks pranikah. Bahkan pernah terjadi, yang menurut saya ini miris sekaligus mengerikan.

Pada tahun 2017 lalu, pernah terjadi penggerebekan, pengarakan terhadap pasangan sejoli yang sedang melakukan hubungan seks pranikah di Cikupa sambil merekam adegan pelucutan pakaian, dan menyebarkan ke media sosial. Sedangkan di sisi lain, kita hampir tidak pernah melihat aksi ‘polisi moral’ tersebut kepada pasangan yang sedang KDRT. Justru ketika ada tetangga kita yang sedang KDRT, kita malah menganggap bahwa itu adalah hal privat atau kalau pun terbukti terdapat kekerasan di situ, kita menganggap itu sebagai domestic violence yang tidak perlu kita tarik ke ranah publik. Lalu, bagaimana seharusnya?

Setelah saya kaji, seorang Antropolog UGM, Anna Marrie Wattie pernah menyatakan bahwa bangsa kita merasa masih sangat beragama dan sangat mempraktikkan keagamaan. Padahal itu masih semu dan hanya tampaknya saja. Hal ini yang saya sepakati, bahwa aksi polisi moral terhadap pasangan seks pranikah ini didasari dari hal di atas. Akan tetapi yang perlu di-underline adalah, perasaan sebagai bangsa bermoral dan beragama kita ini semua sebenarnya. Buktinya, bagaimana bisa kita sebagai orang yang mengaku bermoral, menertibkan aksi pasangan yang dianggap amoral, tapi diwaktu yang sama kita ‘menertibkan’ dengan cara mengarak, menelanjangi, merekam dan menyebarkan videonya ke medsos. Pertanyaannya, siapa yang sebenarnya amoral?

Kita pindah sudut pandang. Secara psikologis memang manusia memiliki sisi narsistik dalam dirinya. Yang dalam step lanjut, orang dengan tipikal tidak suka melihat orang lain bahagia bisa jadi dia memiliki sindrom Narcissistic Personality Disorder atau NPD. Yang ternyata, biasanya orang yang narsistik juga mengalami schadenfreude, atau perasaan bahagia ketika melihat orang menderita. Kasus ini beberapa kali kita temukan dalam banyak video penggerebakan pasangan hohohihe, perekam dari video tersebut sambil tertawa-tawa, berbicara dengan nada bullying dan sejenisnya. Lantas, apakah kita sebenarnya sedang mengidap ‘wabah’ sindrom NPD dan schadenfreude?

Kemudian secara hukum, setahu saya, pelaku seks bebas itu tidak ada delik pidananya, kecuali kalau salah satu pelaku masih terikat perkawinan (Pasal 284 KUHP), salah satu pelaku masih di bawah umur (Pasal 287 KUHP). Terdapat unsur pemerkosaan (Pasal 285 KUHP) dan apabila diketahui bahwa wanita dalam aksi tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau dalam keadaan tidak berdaya (Pasal 286).

Dilihat dari aturan hukum positif di atas, maka sebenarnya secara hukum tidak masalah orang melakukan hubungan seks pranikah, asalkan consent, tidak di bawah umur, dan tidak dalam rangka perselingkuhan. Yang tentu, apabila itu by consent dan dibarengi dengan sex edu yang baik, maka kemungkinan akan berdampak buruk bagi diri pasangan akan dapat jauh diminimalisir. Padahal juga kalo mereka sedang having sex (HS), kita kan juga tidak terganggu secara sosial, kecuali kalau mereka HS di rumah kita tanpa izin, atau pas lagi ngantre beli mie ayam nah itu baru perlu rodo dikeplak kayaknya.

Beda nih sama KDRT. Kegiatan yang sering kita anggap sebagai hal privat yang tabu untuk kita ikut campuri. Jelas, secara hukum, KDRT sudah merupakan kegiatan berdampak pidana (Pasal 44 (1) UU KDRT). Bahkan, ada juga aturan bahwa masyarakat yang mengetahui ada perilaku KDRT di sekitarnya, diwajibkan untuk mencegah, melindungi korban.

Memberi pertolongan darurat dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada pihak berwajib (Pasal 15 UU KDRT). Bahwa dampak buruk dari KDRT sudah jelas, mulai dari luka fisik, luka batin dan bahkan bisa sampai meninggal dunia. Padahal tidak ada KDRT by consent. Tapi nyatanya, kenapa kita sering diam saja dan menganggap itu sebagai urusan domestik? Kenapa kita tidak seberani ketika kita sedang menggerebek dan mengarak orang yang sedang hohohihe?

Terakhir, selain karena kesemuan dalam beragama dan mempraktikkan nilai moral dan mungkin juga karena ketidakpahaman kita terhadap aturan hukum positif di negara ini, menurut subyektif saya, kita ini tidak biasa melihat orang lain bahagia, kita alergi dengan kebahagiaan orang lain di sisi lain kita sudah sangat terbiasa melihat penderitaan orang lain. Sebuah fakta ironi di tengah masyarakat yang menganggap dirinya sebagai masyarakat beragama dan bermoral.

Semoga arah tulisan ini bisa dipahami dengan baik.

Editor : Ciqa

Gambar : Pexels