Tindakan subversif kepolisian memang sering kali terjadi pada tiap aksi mahasiswa. Jargon polisi sebagai pengayom masyarakat justru hanyalah topeng belaka, malah menjadikanya sebagai senjata dari pak polisi dalam mengawasi setiap aksi demonstrasi, dan mengambil kesempatan melakukan tindakan subversif di laur kewajaran dan tidak manusiawi.

Provokasi dan diakhiri dengan berkelahi

Memang tidak bisa dipungkiri saat ada aksi demonstrasi terjadi provokasi, entah dari mahasiswa itu sendiri, terlebih dari pihak luar, dan mungkin juga dari pihak polisi terlibat di dalamnya. Alhasil, terjadilah kericuhan di dalam massa aksi, perkelahian antara polisi dan mahasiswa tak bisa dielakkan, bahkan kehilangan nyawa para demonstran kerap kali terjadi, seperti dalam catatan sejarah demonstrasi Indonesia.

Aksi mahasiswa yang digelar di Pemkab Tegerang dalam rangka untuk memperingati hari ulang tahun ke-389 kabupaten Tegerang, kembali mengundang kericuhan dan menuai perhatian publik (viral). Mengapa tidak, aksi tersebut telah mempertontonkan tindakan polisi yang mengerikan, adanya aksi smackdown oleh polisi terhadap mahasiswa.

Seperti yang dikutip dari suara.com, massa aksi yang jadi korban mengalami kejang-kejang atas tindakan smackdown dari salah satu polisi yang berseragam hitam. Lucunya, korban yang kejang  itu malah dipukul-pukul pundaknya sebagai upaya menyembuhkan, emangnya orang yang tersangkut makanan di leher hingga harus dipukul-pukul pundaknya?

Ya, mungkin itu kepedulian pak polisi ingin membangun kembali romantisme terhadap mahasiswa setelah baru saja melakukan aksi smackdown, atau itu adalah cara pengobatan yang pernah dipelajari sebelumnya oleh pak polisi saat menghadapi orang kejang-kejang. Sebenarnya yang selalu menjadi soal, mengapa aksi subversif pak polisi sering kali mengerikan dan tak ada bosan-bosannya saat ada aksi mahasiswa, selalu ada kesan kalau penyelesaian kasus tindakan subversif polisi tak pernah diusut secara serius. Memang propaganda penyelesaiannya terdengar sangat panas, namun apabila kasus sudah masuk dalam proses hukum terutama di tubuh kepolisian sendiri, kasus tersebut malah menghilang dan perlahan dilupakan oleh publik, termasuk si korban.

Apakah kata maaf saja cukup untuk sebuah aksi subvertif?

Kembali pada kasus polisi yang melakukan asksi smackdown terhadap mahasiswa, bahwa itu adalah tindakan refleks saja. Pihak polisi tak ada niat untuk melakukan tindakan aksi smackdown pada massa aksi. Makanya, ia pun dengan rendah hati dan mudahnya melakukan permohonan maaf kepada si korban. Ya, mamang tidak salah melakukan permohonan maaf (kata maaf memang penting), namun permohonan maaf itu tidak cukup dan tidak ada jaminan bahwa tidak akan melakukan aksi subversif lagi. Mesti ada upaya lebih lanjut dan serius untuk  mengatasi kasus-kasus seperti, walau pak polisi tak pernah bosan melakukannya, bahkan seakan hanya menjadi bahan lelucon bagi polisi sendiri.  

Itulah mengapa permohonan maaf dari pak polisi atas tindakannya yang subversif justru terskesan basi. Mungkin aksi smackdown masih wajar sih ketimbang aksi pembunuhan yang juga pernah dilakukan oleh polisi, penangkapan pada mahasiwa tanpa jejak, dan juga penyiksaan terhadap korban tanpa perlawanan yang jarang diketahui publik. Aksi premanisme polisi itu akan terjadi jika mahasiswa sudah tertangkap dan terperangkap oleh jebakan polisi. Alhasil, ikon polisi sebagai pengayom masyarakat hanyalah bulsit, karena kepercayaan masyarakat malah dinodai oleh pihak polisi sendiri.

Aksi #PercumaLaporPolisi

Trendingnya tagar #PercumaLaporPolisi adalah bentuk ketidakpuasan masyarakat atas tindakan dan kerja oleh pihak kepolisian. Sebagaimana dikutip dari suara.com, munculnya tagar tersebut karena ada penghentian penyelidikan kasus penganiayaan terhadap tiga orang anak oleh ayah kandungnya sendiri di Luwu, Sulawesi Selatan. Kasus seperti itu hanyalah bagian kecil yang pernah terjadi.

Kerja polisi memang sering kali mengabaikan kasus untuk masyarakat golongan bawah, dan sangat cepat ketika kasusnya ada keuntungan untuk penguasa dan orang-orang besar. Ya, memang diakui kalau kepolisian mesti harus mengabdi untuk bangsa dan negara, namun tak ada dalam Undang-Undang kalau harus juga mengabdi pada penguasa, bukan karena semua yang  diperintahkan pengusasa walau salah, itu pun yang harus dituruti. Emangnya dalam sistem kepolisian bagi yang tidak patuh pada pimpinan langsung mengalami pemecatan, allahu a’lam hanya internal polisi saja yang tahu persoalan itu.

Lihat ke depan, apakah akan terulang kembali kejadian serupa?

Walaupun aksi smackdown dari pihak polisi sebenarnya sudah kelar, mengingat polisi sudah melakukan permohonan maaf terhadap korban dan juga keluarganya. Namun, tindakan subversif seperti itu akan tetap membekas, bahkan dapat membudaya pada tiap aksi demonstrasi. Pertanyaanya, sampai kapan masalah seperti itu akan terus berulang? Apakah pihak kepolisian memang melakukan aksi kekerasan saat terjadi pengamanan massa aksi? Apakah memang tindakan subversif memang diajarkan saat ada aksi demonstrasi?

Saya pikir, tanpa aksi smackdown seperti itu, para mahasiswa tidak akan juga melawan pihak kepolisian. Mahaiswa tidak punya bekal senjata, mahasiswa tidak punya bekal ilmu jurus-jurus smackdown, dan juga mahasiswa malakukan aksi hanya untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutun. Kenapa mesti harus kejam dan sangat waspada saat ada aksi demonstrasi, pak?

Ataukah mungkin mahasiswa yang ikut demostrasi mesti dibekali dulu jurus-jurus smackdown, itu penting agar ada penyeimbang ketika terjadi lagi tindakan smackdown antara mahasiswa dan pihak kepolisian. Bahkan boleh juga diresmikan pada tiap aksi, ada momen smackdown yang jelas undang-undang dan konstitusinya, supaya arah jelas.

Bukan hal tidak mungkin itu dapat terjadi, karena tindakan subversif polisi selalu saja ada, seakan tak pernah ada pembenahan secara sirius, ketika pihak polisi minta maaf, masalah pun sudah kelar. Saat polisi mengatakan kasus segera diperoses sesuai prosedur, kasus pun seketika menghilang pula, meskipun prosesnya dihentikan.

Memang benar apa yang dikatakan oleh Gus Dur, polisi yang baik itu cuma tiga, patung polisi, polisi tidur, dan pak Hugeng (almarhum).  

Editor: Nawa

Gambar: Timur Media