Politikus itu beramai-ramai mengumbar aurat di ruang publik. Menelanjangi diri untuk menarik atensi banyak orang dengan kemolekan janji dan pencitraan.

Tidak ada yang ditutupi, selain kejujuran dan kebenaran moral. Semakin sering berorasi, semakin telanjang para politisi.

Substansi aurat adalah aturan pemilik kehidupan (Tuhan) tentang sebagian prinsip yang harus dijaga; ditutupi. Menjaga aurat terletak pada tindakan menutupinya, bukan objek yang ditutupinya.

Aurat adalah simbol tentang apa yang seharusnya manusia jaga dan tutupi. Bukan hanya batas tubuh, namun lebih kepada kompleksitas kehidupan.

Ada aurat yang harus ditutupi meski itu merupakan sebuah kebenaran. Misalkan nanti kalau anak bertanya, “dari mana dulu aku dilahirkan?”

Tidak lantas seorang ibu membuka celana dan menunjukan tempat di mana ia dilahirkan dan menjadi bayi. Itu kebenaran, tapi harus ditutupi.

Ada juga kebenaran yang harus dibuka seperti batasan aurat tentang kejahatan seseorang seperti korupsi, pembunuhan berencana, dan tindakan kriminal lainnya.

Perilaku yang harus dibuka agar menjadi pelajaran bagi semua orang bahwa negara punya hukum dan keadilan.

Media sosial sekarang menjadi ajang pamer aurat. Penggunanya harus siap ditelanjangi dan menelanjangi orang lain.

Tidak jelas batasan aurat yang harus ditutupi dan yang harus dibuka. Mereka tidak menyadari batasan aurat yang benar dan yang salah. Semua serba telanjang. Mengumbar aurat di tempat umum.

Pelacur Politik

Politikus dadakan muncul menjajakan diri ke partai-partai. Menjual nama besar dan memberikan amplop modal menjadi pelacur politik.

Politikus laki-laki gagah mengenakan peci dan sorban, sementara perempuannya anggun mengenakan jilbab. Mencitrakan diri alim di hadapan warga yang mayoritas muslim. Bukan untuk menutup aurat, tetapi menjual diri.

Agama merupakan alat efektif mengelabuhi orang untuk patuh dan tunduk. Label ulama berceceran ikut berkampanye menyuarakan kepentingan.

Lupa berdakwah dan fokus mengincar kekuasaan. Budaya mengumbar aurat politik menciptakan virus birahi politikus.

Politikus memandu masyarakat untuk “berkaraoke” di parlemen dan istana. Kadang menjadi oposisi, kadang berkoalisi. Tergantung siapa yang berani membelinya.

Pelacur politik mengumbar aurat melalui kebijakan fiktif, janji kesejahteraan, dan persekongkolan finansial. Menyediakan beberapa kamar untuk politikus lain, pengusaha, dan lembaga negara.

Terjun ke dunia politik harus rela menyingkirkan kepentingan agama untuk meraih kekuasaan. Dosa tidak lagi menjadi pertimbangan ketika melihat politikus lain aktif mengumbar aurat politik di televisi, media sosial, dan panggung rakyat.

Desahan kesedihan di framing bentuk empati terhadap kemiskinan. Ketika berkuasa, pelacur itu menjadi raksasa kejam yang menakuti dan mengancam kebahagiaan rakyat.

Ketika pemerintah beraksi menutup lokalisasi prostitusi, masyarakat sibuk membuka praktek pelacuran di ruang-ruang publik.

Libido seks bertransformasi menjadi libido kekuasaan. Berebut kursi kekuasaan dan mengabaikan nilai-nilai kesusilaan dan keagamaan.

Mengumbar Aurat

Tidak ada yang boleh ditutupi. Ranah privasi adalah informasi publik. Sidang dipaksa diumbar, strategi politik dibongkar, dan pronografi dipasang di berbagai sudut ruang.

Perilaku seksual anak lumrah terjadi ketika negara lupa menjaga auratnya. Pemerkosaan, perselingkuhan, promosi video seks, hingga jasa pelacur mudah diakses semua orang.

Moralitas bangsa dihancurkan aksi umbar aurat semua elemen masyarakat, termasuk politikus. Tuhan memberikan rambu-rambu batasan aurat diterjang demi kepentingan kelompok.

Politikus menyusun kata-kata rayuan untuk menggoda rakyat agar memilihnya. Saking birahinya, rakyat mudah menggadaikan dirinya di bilik-bilik pemilu.

Kehidupan yang penuh aurat dikehendaki semua orang dan difasilitasi pemerintah. Zina mata, ucapan, perilaku, dan pengambilan keputusan yang tidak lagi berorientasi pada aturan agama. Apapun dilakukan demi terpenuhinya kepentingan. Tidak lagi mengetahui aurat mana yang mesti dibuka dan ditutup.

Ayat-ayat suci dinodai oleh pelacur politik untuk dijadikan alat berkampanye. Aurat politik yang semestinya dibuka seperti halnya pelanggaran HAM malah ditutup rapat.

Aurat yang semestinya ditutupi malah dijadikan bahan membuka aurat lainnya seperti ujaran kebencian, penyebaran berita hoaks, dan caci-maki.

Anak-anak yang butuh asupan agama dan budaya malah diajari sikap amoral para pelacur di internet. Traumatis kebudayaan mengikis nilai dan norma.

Sebaran aurat memaklumkan perilaku dosa, apalagi jika sudah beririsan dengan dunia politik. Tidak ada lagi kontrol orang tua, agamawan, dan guru ketika semuanya juga ikut menikmati dan melakukan praktek mengumbar aurat.

Editor: Lail

Gambar: Pexels