Ayah saya mungkin harus diberikan penghargaan oleh Guinness Book World of Record. Selain menjadi sosok suami dan mencari nafkah, ayah saya adalah sosok ayah rumah tangga, pria yang begitu ulet dan telaten dalam urusan rumah tangga. Semua pekerjaan rumah tangga, bisa dikerjakan oleh ayah dengan baik. Seperti menyapu, mencuci, memasak, menjemur, menyetrika, hingga menciptakan berbagai alat baru dan sarana di rumah kami. Bisa dibilang, ayah merangkap tugas sebagai ART alias Ayah Rumah Tangga.

Membaca artikel tentang ibu rumah tangga adalah bentuk emansipasi membuat saya sadar betapa kencangnya stigma identitas di masyarakat Indonesia. Bukan cuma kepada perempuan saja, melainkan kepala lelaki juga. Sejak menginjak usia remaja, kepala ini sering direcoki dengan kalimat bahwa pria itu tugasnya kerja, kerja, dan kerja. Seperti slogan presiden tiga, eh maksudnya dua periode sekarang ini. Kerja yang dimaksud disini itu merujuk kepada kerja diluar rumah kayak mencari nafkah dan kerja kasar lainnya. Sedangkan pekerjaan didalam rumah, dianggap aneh dan rada-rada.

Contohnya memasak. Tidak jarang ditemui ada anak lelaki yang hobi masak tapi malah kena sidang sama netizen. Kayak, anak cowok kok masak, itu kan pekerjaan perempuan. Hei, justru bisa memasak itu akan meningkatkan kualitas kami para pria di mata calon mertua kelak! Bukan itu saja. Berbagai pekerjaan rumah tangga lainnya yang dikerjakan oleh pria juga tidak sedikit yang menganggapnya tidak pas. Rasanya kayak, seolah-olah pria itu kewajibannya cuma cari uang saja.

Padahal, menjadi ayah rumah tangga itu adalah salah satu pekerjaan yang kalau saya pribadi pengen banget melakukan nanti. Berikut beberapa alasannya:

Modal pertama ketemu calon mertua

Pria mandiri itu punya nilai sendiri, baik di mata cewek maupun orangtuanya. Bisa mengerjakan pekerjaan rumah, sudah menjadi jaminan buat orang tua si cewek kalau kita bisa diandalkan. Mengerjakan pekerjaan dalam rumah saja handal, apalagi mencari uang kan? Auto diterima proposal lamaran sama calon mertua.

Menolong istri

Saya memang belum menikah, tapi saya ngerti kalau di rumah itu bukan cuma terpusat ke istri saja. Harus ada unsur kerja sama yang efektif. Kewajiban laki-laki itu selain memberi nafkah juga menjadi kepala keluarga yang harus siap membersamai istri, maka dari itu mengerjaan pekerjaan rumah tangga adalah bentuk menolong istri yang paling bagus. Misal istri masak, ya kita sapu rumah. Dia mencuci, kita menjemur. Berdasarkan data, saling membantu pekerjaan rumah juga membuat harmonis suasana rumah lho. 

Coba bayangkan istrimu sedang hamil, ditambah harus mengerjakan pekerjaan rumah lain. Masak situ tega cuma rebahan habis kerja, minimal ya bantu kerja lainnya. Sekecil apapun, pasti dihargai oleh istri. Ya ngerti, kerjaanmu memang capek, tapi istrimu itu jauh lebih capek harus mengurus rumah dan calon anakmu yang lagi dikandung sembilan bulan.

Memberi contoh ke anak lelaki

Punya anak yang rajin pastilah impian orangtua. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga di depan anak lelaki, juga akan berefek kepada mereka. Tentunya pertama mereka akan penasaran dan mulai mencoba ikut juga. Sekalipun berantakan, setidaknya sudah tumbuh keinginan atau niat untuk menolong. Selain itu, hal ini juga menanamkan kepada mereka bahwa pekerjaan rumah itu bukan tugas perempuan saja, tapi lelaki juga berkewajiban untuk bisa mengerjakan pekerjaan tersebut.

Stigma yang telah lama tumbuh di masyarakat akan sukar untuk diberantas, namun bisa dicegah dan dicari solusinya. Menjadi ayah rumah tangga, selain memberikan pemahaman kepada anak lelaki, juga memberi kesempatan kepada perempuan bahwa mereka dapat memilih jalan apapun yang mereka mau. Tentunya harus didukung dengan faktor internal (keinginan, niat) dan eksternal (dukungan keluarga, pasangan) agar pilihan mereka berjalan dengan mulu. Mari turunkan gengsi, mulai mencuci.

Editor: Saa

Gambar: Pexels