Siapakah hakikat guru itu? Sederhananya adalah manusia yang digugu dan ditiru oleh para peserta didik atau murid. Itu merupakan makna guru secara umum atau bahasa. Hal ini senada dengan pandangan Kartini, di mana Kartini menyatakan bahwa guru:
“…bukan menjadi pengasah pikiran saja, melainkan juga menjadi pengasah budi pekerti….”
(Kartini dalam suratnya pada Nyonya Abendanon).
Motivasi Kartini Menjadi Guru
Guru tidak hanya menjadi medium untuk mengasah pikiran saja, namun juga untuk mengasah (mendidik) akhlak muridnya. Sehingga guru dituntut untuk menjadi sosok yang “digugu” plus “ditiru” keteladanannya.
Apabila ada guru yang memberi pelajaran seputar akhlak untuk tak minum miras, eh tapi malah gurunya yang gemar minum miras, kacau kan? Bisa-bisa, peserta didik tak akan memercayai ajaran yang diberikannya, sebab ia juga tidak melaksanakan hal yang diajarkannya. Sehingga, hilanglah peran guru sebagai sosok yang bisa digugu dan ditiru.
Saya sudah pernah menulis seputar konsep pendidikan Kartini yang terbit di Harakah ID dengan judul: Inilah Konsep Pendidikan Kartini, Fokus Membentuk Akhlak Peserta Didik. Dalam tulisan tersebut saya menjelaskan, kalau konsep pendidikan Kartini adalah pendidikan untuk membentuk budi pekerti atau akhlak peserta didik. Hakikat seorang guru, juga dilihat dari hal tersebut.
Ada banyak profesi yang menjadi cita-cita Kartini, mulai dari menjadi pengarang, dokter, dan lainnya. Namun, langkahnya kemudian mantap terjun dalam dunia pendidikan dengan menjadi seorang guru. Motivasi tersebut dapat dilihat dalam suratnya:
“Sepanjang pemikiran Bapak, menjadi gurulah yang sebaik-baiknya bagi kami, demikian pulalah pendapata sahabat-sahabatku di Betawi; kerja menjadi guru itu pada pertimbangannya, kerja yang sebaik-baiknya, yang sepantasnya bagiku, yang sesuai benar dengan cita-citaku. Dan di mana lah pula cita-citaku dapat kusebarkan lebih daripada di sekolah, menjadi pendidik turunan baru, yang akan menjadi perempuan dan ibu di kemudian hari (maksud Kartini yang akan menjadi “perempuan dan ibu” ditujukan pada peserta didik perempuannya, sebagaimana kemudian Sekolah Kartini dikhususkan bagi perempuan).”
Bagi Kartini pekerjaan menjadi guru itu merupakan dorongan dari budi nurani manusia:
“Bukankah jadi kewajiban tiap-tiap orang, yang lebih berbudi dan lebih pandai daripada sesamanya yang banyak itu, membantu dan memimpin mereka itu dengan pengetahuannya dan kepandaiannya yang lebih tinggi itu? Tiada undang-undang yang nyata, melainkan budinya lah yang mewajibkan dia berbuat demikian.” (Kartini dalam suratnya pada Tuan Prof. Anton dan Nyonya).
Tanggung Jawab Guru itu Besar
Saat Kartini menjadi guru, lingkup kerjanya mungkin kecil, tak seluas dan tak sementereng bila dia menjadi dokter atau pengarang. Namun, tanggung jawab mendidik itu yang kemudian akan meluaskan lingkup kerjanya. Sebab, dengan memilih menjadi guru dia berkesempatan mendidik generasi baru yang nantinya akan menjadi penerus bangsa.
“…Kalau aku jadi guru, hanya kecil lingkungan kerjaku, tetapi aku dapat mendidik dengan langsung, dan lingkungan yang kecil itu boleh jadi menjadi luas, akhirnya menjadi contoh teladan bagi orang, asal saja contoh yang diberikan itu ternyata contoh yang baik.”
(Kartini dalam suratnya).
Ah, kau tahu Kartini, lewat cita-citamu dan kau memilih jadi guru (tokoh pendidikan), lingkungan kerjamu bahkan terus meluas, melewati sekat-sekat dinding setiap generasi bangsa ini. Sebab, meski kau terkubur dalam tanah, namun cita-citamu masih berjalan di atas tanah Nusantara hingga sekarang.
Bagi Kartini, tanggung jawab menjadi guru adalah besar. Ini ditulis Kartini dalam suratnya:
“Bila aku jadi guru pada sekolah yang jadi tumpangan murid sekali (maksudnya sistem boarding school atau sekolah dengan asrama), haruslah aku sehari-harian bergaul menjaga anak-anak itu, pada malam hari pun, ya hingga larut malam tiadalah aku akan bebas, karena anak-anak itu dipercayakan kepadaku. Beratlah kewajiban orang yang jadi kepercayaan, besar pulalah pertanggungannya… “
Lanjutan surat tersebut: “…Boleh jadi kau pandang aku melebih-lebihkan, tetapi tetap lah pikiranku, bahwa salah lah dan jahat lah pada pemandanganku, aku akan mempergunakan tenagaku untuk mendidik anak-anak, yang jadi harapan untuk masa yang akan datang, sedang aku tiada cakap sungguh-sungguh melakukan kewajiban besar itu, kewajiban yang pada pemandanganku amat lah mulia dan sucinya. Betapa juapun senang hati saya melihat pekerjaanku, belum lah akan dapat menerbitkan rasa damai dalam hatiku, bila hatiku sendiri belum puas akan pekerjaan itu.”
Tanggung jawab menjadi guru amat besar. Apabila menjadi guru dalam sekolah boarding school, maka harus memerhatikan peserta didik tak hanya di sekolah, namun juga di asrama. Apabila pada sekolah yang bukan boarding school, tanggung jawabnya pun tetap besar mendidik peserta didik di sekolah.
***
Pada dasarnya profesi menjadi guru bukan profesi main-main. Ada tanggung jawab besar di balik profesi mentereng menjadi guru. Kartini mengingatkan kalau menjadi guru: “…Bukan menjadi pengasah pikiran saja, melainkan juga menjadi pengasah budi pekerti.”
Sebab, guru sebagai profesi yang mendidik budi pekerti calon-calon penerus bangsa. Maka di tangan guru-lah penentu nasib bangsa ini, apa menjadi bangsa yang benar-benar berperadaban atau tidak. Mengingat amat krusialnya peran guru terhadap bangsa Indonesia, para guru seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih baik dari pemerintah.
Penyunting: Nirwan
Comments