Saya agaknya sudah kenal dengan beberapa pedagang yang ada di sekitar stan jualan emak saya di Pasar Sedati. Ada Pak Bari, lelaki paruh baya yang menjual susu sapi, di sisi selatan. Di sampingnya ada Mbak Mega, pegawai Bu Ami, pemilik Bubur Ayam Barokah. Di seberang jalan ada tiga penjual pisang yang berjejeran. Berturut-turut dari yang paling utara ada Cak Khafif, Mas Alim, dan Cak Damon.

Ketiganya berjejer rapi menghadap stan jajanan basah emak saya. Di sebelah utara bertetangga dengan toko Emas milik seseorang yang biasannya saya panggil ‘Koh’. Entah siapa nama yang tertulis di KTP-nya.

Seperti halnya pedagang lainnya, selain berinteraksi dengan pembeli, saya pun tidak lupa untuk berinteraksi dengan penjual-penjual lain. Beberapa kali saya guyon atau sekedar ngobrol ringan dengan mereka. Entah mengenai hasil jualan, keadaan pasar, atau sekedar julid mbak-mbak aduhai yang barusan beli jajan.

Menurut pengamatan saya, hampir tidak ada raut muka yang gundah gulana akibat resesi yang diperkirakan segera terjadi dampak dari pandemi seperti yang dikabarkan oleh berita-berita di TV. Raut muka kusut hanya nampak ketika ada dari mereka yang malam sebelumnya begadang, sedangkan paginya memaksa diri untuk tetap membuka dagangan. Itu saja. Mereka yang di sekitar saya nampak selalu ‘baik-baik’ saja.

Tiga Penjual Pisang

Di balik itu semua, ada yang belum baik-baik saja. Adalah sesuatu yang masih ngganjel dalam benak saya. Khususnya soal tiga penjual pisang yang berjejer di depan saya. Saya pun mbatin, “Apa mereka bertiga benar-benar baik-baik saja?

Entah teori apa yang mereka gunakan sebagai referensi strategi pemasaran. Dalam bukunya Kottler, referensi utama mata kuliah pemasaran, tidak ada teori yang mendukung strategi tersebut.

Coba kita berpikir secara logis. Sebagian besar mereka menjual jenis pisang yang sama, hanya satu atau dua yang berbeda, harga yang ditawarkan pun tak terpaut jauh dan cenderung sama. Selain itu, yang paling aneh adalah ketika salah satu dari mereka tidak memiliki jenis pisang yang diminta si pembeli, dengan santainya akan menanyakan kepada yang lainnya. Dengan entengnya menyarankan si pembeli beralih ke lapak di sampingnya. Sesuatu yang tidak akan saya jumpai pada pegawai, atau bahkan pemilik Alfamart atau Indomaret.

Lantas, yang menjadi pertanyaan, “Apa mereka tidak merasa rugi karena customer turnover? Alih-alih memperumit diri, jawaban pertanyaan tersebut tak lain ada pada raut muka ketiganya yang baik-baik saja.

Harmoni. Satu kata dalam benak saya yang mungkin bagi mereka lebih besar dari sekedar keuntungan maksimal, selain nrimo ing pandum. Hal tersebut, bagi para pemodal dan pebisnis kakap can’t relate.

Memang secara teori atau secara rasional, strategi pemasaran blio-blio ini bisa dikatakan ‘nggak masuk blas’. Meski keadaan ketiganya ya begitu-begitu saja, namun masing-masing mereka masih memiliki pelanggan tetap. Ketiganya pun tak jarang berbagi canda bersama. Masih tetap nggojloki Mas Alim kala gagal mendapat nomor hp-nya mbak-mbak pegawai toko emas. Masih sering berbagi rokok-kopi satu sama lainnya. Masih membagi kebahagiaan satu sama lain.

Dari sini saya pun dapat menarik hipotesis bahwa, ada yang lebih besar dari sekedar meraup untung sebanyak-banyaknya. Mereka nampaknya sudah paham akan posisi dan porsi masing-masing. Tak lain untuk senantiasa baik-baik saja dan tetap harmonis.

Harmoni

Harmoni. Sekali lagi kata ini sepertinya terancam hilang akhir-akhir ini. Bagaimana tidak. Di sana sini terjadi keributan, ketegangan, bahkan tak jarang memakan korban. Kata yang semakin langka dijumpai jika menilik dari kabar-kabar yang beredar di TV atau jagat maya.

Harmoni. Kata yang sudah sepatutnya diresapi dengan lebih dalam agar ketegangan yang terjadi dapat mereda. Andai kata, semua orang yang menghuni negara ini bisa memaknainya dengan kaffah, bukan hanya kata hijrah, bukan tidak mungkin negara ini akan kembali baik-baik saja.

Ah, sialan. Saya sebagai fans Arsenal yang identik dengan jargon Victoria Concordia Crescit, kemenangan berawal dari keharmonisan, pun tak bisa meresapi arti keharmonisan sebaik ketiga penjual pisang di atas. Saya yang mendapat nilai A pada mata kuliah kewarganegaraan berkat esai tentang harmoni dalam perbedaan pun belum bisa mengimplementasikan secara penuh apa yang saya tulis itu seperti mereka bertiga.

Saya kemudian membayangkan semua komponen bangsa ini telah memahami akan fungsi, posisi, dan porsi masing-masing. Sehingga, semuanya dapat berjalan secara harmonis. Mungkin pada titik ini persatuan yang diutarakan oleh Bung Karno dalam pidatonya per 1 Juni tujuh puluh lima tahun silam dapat terealisasikan dengan paripurna.

Satu pertanyaan muncul kemudian. Kapan?

Entah lah dan yang pasti, saya perlu belajar banyak kepada mereka bertiga: Cak Khafif, Mas Alim, dan Cak Damon, tentang arti kata harmoni.