Belakangan ini kampus yang tanpa ragu saya sebut sebagai swasta terbaik, tidak cuma Indonesia, tapi juga dunia akhirat, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), banyak disorot oleh media nasional, tentu bukan karena Pak Rekor kami yang doyan joget-joget di Tiktok atau Imam Masjid kampus yang kalau memimpin sholat Isya durasinya mendekati satu babak futsal, tetapi ini perkaranya bikin siapapun yang punya hati nurani pasti mencak-mencak: kasus kekerasan seksual yang melibatkan pejabat di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tingkat Universitas.

Pertama dan yang utama. Saya tidak sudi menyebutnya aktivis. Karena sama sekali tidak membuat kasus ini tampak ‘lebih seksi’.

Kedua, untuk kalian yang belum tahu menahu konteks tulisan ini. Kalian bisa melacak dari akarnya langsung, sila kunjungi akun Instagram @dear_umycatcallers, dan semoga kalian tidak jijik saat membaca kronologi kejadian dan silahkan siapkan sumpah serapah terbaik.

Balik lagi ke persoalan utama. Meski dinilai cepat, saya tetap berpendapat respon UMY terbilang agak lambat dan terlihat cenderung ‘tertekan’ oleh postingan sosial media yang jadi terlanjur jadi bola panas dan bergulir liar.

Dalam arti kata lain, kalau kasus ini ditempuh lewat prosedur pengaduan ke kampus, saya menyangsikan hal-hal yang sekarang bakal kejadian.

Tetapi saya juga ingin memuji ‘kampus Matahari’ ini dan harus adil mengatakan kalau cara UMY dalam menjaga nama baik kampus pada level tertentu perlu ditiru oleh kampus-kampus lain. UMY tidak lagi mengelak apalagi menutup-nutupi dan mengambil sikap tegas: pelaku yang jahanam jadah itu diberhentikan secara tidak hormat.

Senada dengan itu, tak berselang lama ormawa induk tempat pelaku sedikit banyaknya pernah berkiprah juga punya sikap yang sama: mencabut status keanggotaannya.

Sebagai pembanding, kalau kalian mengikuti kasus penyintas lainnya, sebutlah Agni UGM, pasti kalian tak sungkan untuk menaruh apresiasi untuk UMY, dengan akal yang benderang juga pasti bisa membedakan betapa pentingnya kampus memberi jaminan yang adil untuk korban, bukan malah balik menuduh dan tampak membela pelaku yang — sekali lagi — jahanam jadah.

Saya kira dan memang seharusnya begitu , kita patut bersyukur tiap kali ada perempuan korban kekerasan seksual yang berani buka suara. Sebab bisakah sejenak saja kita membayangkan rasa sakit, perih, kesepian, merasa diri tak lagi berharga, dan lain sebagainya, yang selama ini disimpan rapat-rapat oleh penyintas akhirnya dengan segala konsekwensinya ia utarakan? Akumulasi penderitaan itu dipertaruhkan demi sebuah jalan pembuka untuk hidup yang baru, yang tentu ia harapkan jauh lebih baik.

Jadi siapapun dan dalam hal ini insitusi, kampus mesti punya kesediaan untuk menerima semua informasi dengan hati nurani yang bersih, tidak berprasangka apalagi menghakimi.

Karena sangat disayangkankan selama proses yang kampus sebut ‘investigasi’ ada perlakuan intimidatif yang bahkan sampai mengancam memberikan sanksi akademik jika korban tidak mau memenuhi pemanggilan yang mana kampus tidak mau tahu soal kondisi psikis korban yang sedianya harus didampingi.

(Perlu diketahui kasus ini bisa terbuka ke publik bukan sim salabim.)

Dan yang menjengkelkannya lagi, pihak kampus juga bersikap bias gender dengan melontarkan kalimat-kalimat tanya yang seksis dan tidak perlu, seperti misalnya “Kok semudah itu tangan mu dipegang dan kancing baju mu dibuka,”

Sudahlah kalau Anda wahai Pak Dosen, bukan perempuan, saya beranikan katakan Anda tidak cukup mengerti apa dan seperti apa rasanya mengalami penderitaan berlapis.

Pada bagian penutup ini, saya dan semua orang yang masih punya rasa hormat pada perempuan, sangat berharap UMY juga bisa serius mengusut dugaan-dugaan yang melibatkan dosen sebagai pelaku. Tidak hanya mahasiswa.  Sebab sudah jadi rahasia umum banyak praktik nakal dosen yang memanfaatkan relasi kuasanya untuk ‘macam-macam’ dengan mahasiswi.

Semoga kasus Mas Mentri BEM (MKA) atau yang sering disapa Ocid ini bisa jadi titik balik  pembuktian kalau kampus dengan slogan unggul dan islami benar-benar seperti yang mereka nyatakan dengan gagah dihadapan media: zero tolerance terhadap kekerasan seksual.

Ya, minimal setelah ini perbanyakan konten literasi tentang kekerasan seksual di tiktok atau akun sosial media lainnya atau syukur-syukur bisa dibuat payung regulasi.

Dear UMY, kampusku tercinta, kira-kira siap nggak jadi kampus percontohan tentang penanganan kasus kekerasan seksual? Biar bisa menang 2-0 atau lebih telak lagi dari UGM dan kampus-kampus se NKRI?

Editor: Ciqa

Gambar: Pexels