Jika ada orang tua yang mengeluh anaknya tak suka pelajaran matematika—hingga mengalami fobia atau ketakutan terhadap pelajaran matematika (mathematics anxiety)—saya pikir ada benarnya. Kok, saya bilang benar? Karena saya mengalami apa yang dialami anak si orang tua tersebut. Saking fobianya saya dengan matematika sejak kecil, hingga kini saya selalu mimpi sedang ujian matematika dengan soal-soal yang sulit dan sangat membagongkan jika akan mengalami situasi sulit. Ini nyata, nggak ngadi-ngadi.

Begini, kisahnya. Sejak saya masih SD, sekira kelas 3 SD—saya sudah mulai tak suka dengan pelajaran matematika. Bapak saya pun sudah putus asa mengajari saya. Di sekolah pun saya tak khawatir meninggalkan sebuah ujian pelajaran matematika dengan alasan harus cek mata yang bertambah minusnya. Minus yang bertambah itu bukan karena berusaha belajar keras tentang matematika, tapi lebih senang baca buku cerita dan komik. Jangan ditiru, ya. Untunglah saya tetap lulus SD dengan nilai baik ditunjang oleh nilai mata pelajaran lainnya.

Begitu pula saat saya duduk di bangku SMU, lagi-lagi saya akhirnya memilih pindah jurusan saat kelas 2 SMU. Dari kelas Biologi pindah ke kelas Sosial. Gara-gara apa? Pastinya karena di kelas Biologi saya masih ketemu matematika lagi ditambah fisika. Hahaha, masih saudara juga dua ilmu tersebut. Dan di kelas sosial saya merasakan berada di bidang yang tepat sesuai passion saya.

Parahnya, saat lulus SMU. Entah kenapa, saya malah memilih kuliah di jurusan Akuntansi di sebuah Sekolah Tinggi Akuntansi terbaik di Kota Kembang. Padahal, akuntansi adalah ilmu terapan dari matematika. Wagu dan cringe jadi satu setelah akhirnya saya mengetahuinya—telat, hih. Saya tahunya kuliah di tempat terbaik—menurut rekomendasi anak teman bapak saya. Akibatnya, saya hanya bertahan kurang dari 2 tahun saja di Sekolah Tinggi Akuntansi tersebut. Bersyukur akhirnya saya diterima di PTN jurusan Bahasa Asing dan akhirnya lanjut Ilmu Komunikasi—masih di kota Paris van Java.

Fobia Matematika

Fobia matematika ini terus berlanjut hingga kini, saat saya sudah menikah dan mempunyai anak. Entahlah, apakah fobia matematika ini telah menjadi gangguan psikologis akan matematika (mathematics disorder) terhadap diri saya—akibat pengalaman-pengalaman masa lalu. Karena, dampaknya telah berimbas dalam pekerjaan saya. Saya selalu menolak jika ditunjuk dalam jabatan yang berkaitan dengan hitung-hitungan matematika, misalnya bendahara atau pemegang uang muka. Tak perduli jika saya harus dimutasi. Untunglah tidak dilakukan atasan saya.

Saking fobia akan matematika, saya menduga fobia ini telah merasuk dalam alam bawah sadar dan kejiwaan saya. Apa buktinya? Secara empiris setelah saya amati, sebelum muncul situasi sulit dalam kehidupan saya, biasanya saya mendapatkan sebuah mimpi. Gambaran mimpinya selalu sama, yakni pasti saya sedang menghadapi ujian matematika dengan soal yang sulit dan membagongkan. Bsoknya, lusa atau tulat biasanya saya akan menghadapi situasi sulit.

Mimpi-mimpi itu selalu akan muncul dan memberi saya sinyal untuk bersiap, baik secara psikologis maupun fisik. Dan ini cukup saya syukuri sebenarnya (efek samping fobia matematika). Setidaknya saya bersiap menghadapinya.

Entah apakah rahmat dari Tuhan atas kelemahan saya akan matematika atau manifestasi alam bawah sadar saya yang mewujud dalam mimpi. Namun, keresahan atas fobia ini tetap saya pendam dan saya pikir malah menguntungkan mendapat sinyal-sinyal kesulitan yang akan datang. Kan, anti-mainstream juga.

Biasanya orang malah kepingin mengetahui kesenangan yang akan datang. Namun, saya malah dapat bayangan, tetapi bayangan kesulitan. Nggak apa-apa lah, untuk saat ini saya masih baik-baik saja dan membagi pengalaman fobia matematika ini kepada pembaca. Toh, hidup tetap berjalan terus tanpa harus dipaksa mempunyai profesi yang terkait dengan matematika. Jadi, penulis Milenialis, misalnya. Nggak usah ngitung-ngitung, nunggu cair tulisan aja, hehehe. Yuks nulis!

Editor: Nirwansyah

Ilustrasi: Media Indonesia