Setiap akhir semester, ada tiga hal yang ditunggu-tunggu para pendidik: libur panjang, rapat kenaikan pangkat yang membosankan, dan… bingkisan. Entah kenapa, musim ujian di Indonesia punya satu aroma khas, wangi parcel!

Kalau kalian pernah mengajar, pasti pernah mengalami momen seperti ini. Tiba-tiba ada mahasiswa yang selama ini ghosting, mendadak datang dengan senyum manis dan sebungkus kue lapis. Atau orang tua siswa yang selama ini tak pernah ikut rapat wali kelas, kini hadir sambil menenteng buah tangan terbungkus rapi. Katanya sih “tanda terima kasih”, tapi kok datangnya pas nilai belum keluar?

Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bahwa 30% guru dan dosen, serta 18% pimpinan satuan pendidikan menganggap pemberian hadiah dari siswa/orang tua adalah hal lumrah. Lebih mengelus dada lagi, 22% satuan pendidikan mengaku bahwa hadiah tersebut memang dikasih dengan tujuan tertentu, seperti menaikkan nilai atau memastikan kelulusan.

Lho, lho, ini sudah bukan sekadar budaya ‘ramah’ khas Indonesia. Ini sudah masuk ke zona rawan integritas!

Masalahnya, praktik ini sering dibungkus rapi dengan bahasa-bahasa manis: “Nggak ada maksud apa-apa kok, Bu.” atau “Cuma sekadar syukuran aja, Pak.” Tapi kita semua tahu, kadang sebuah kastengel bisa bicara lebih keras daripada skripsi 100 halaman.

Dari Pendidik Menjadi “Penerima Bingkisan Profesional”

Dalam tradisi Timur, memberi hadiah pada guru adalah bentuk penghormatan. Bahkan, dalam beberapa budaya, guru dihormati seperti orang tua kedua. Tapi zaman sudah berubah. Saat ini, penghormatan bisa bergeser jadi negosiasi. 

Guru dan dosen tak sadar telah berubah status dari pendidik menjadi penerima bingkisan profesional. Ada yang bahkan mengelola wishlist tersendiri: siapa kasih apa, kapan, dan berapa nilainya. Hadiah bukan lagi spontanitas penuh rasa syukur, melainkan bagian dari diplomasi akademik. Dan lucunya, kita semua tahu itu salah, tapi tetap melanggengkan dengan dalih-dalih klasik: “Namanya juga budaya.” Kalau budaya itu merusak, ya bukan dilestarikan, tapi disterilkan!

Jangan Salahkan Mahasiswa, Sistemnya Abu-abu

Tentu saja, mahasiswa atau orang tua siswa juga patut dikritik. Tapi sebetulnya, mereka cuma beradaptasi dengan sistem yang abu-abu. Ketika proses penilaian tidak transparan, ketika komunikasi antara pendidik dan peserta didik minim keterbukaan, maka wajar kalau ada upaya mencari jalan pintas.

Coba bayangkan seorang mahasiswa bingung kenapa nilainya C padahal dia merasa sudah mengerjakan semua tugas. Tanya ke dosen? Takut. Minta revisi? Dibilang “nggak usah protes.” Lalu satu-satunya yang terasa ‘aman’ adalah… hadiah.

Sistem pendidikan kita terlalu banyak ruang gelap, sehingga gratifikasi kecil tampak seperti obor penerang. Padahal obor itu bisa membakar seluruh nilai kejujuran.

Ketika Integritas Dikorbankan Demi Citra Baik

Banyak institusi pendidikan sibuk membangun citra: akreditasi naik, ranking kampus meningkat, gedung baru kinclong. Tapi citra yang bagus akan runtuh kalau fondasi integritasnya keropos. Apa gunanya kampus unggul kalau dosennya bisa “dilobi”? Apa gunanya sekolah favorit kalau kelulusan bisa diatur dengan parsel?

Integritas bukan sesuatu yang bisa dikompromikan. Karena dari sanalah semua nilai akademik bertumpu. Kalau pondasinya rapuh, hasilnya bukan lulusan berprestasi, tapi lulusan “berapresiasi”—pinter menghargai dosen dengan amplop!

Solusi atas persoalan gratifikasi di dunia pendidikan tentu tak cukup hanya lewat spanduk anti-parsel atau kampanye satu arah dari dekanat. Yang kita butuhkan adalah perubahan kultur yang menyentuh hingga ke jantung ekosistem akademik. Semuanya harus dimulai dari sistem penilaian yang transparan. Mahasiswa dan siswa berhak tahu alasan mereka mendapat nilai tertentu, bukan sekadar menerima angka yang jatuh dari langit tanpa penjelasan. 

Rubrik yang jelas dan terbuka bukan hanya memperkuat kepercayaan, tapi juga menutup ruang bagi praktik “terima kasih bernilai tinggi”. Di sisi lain, institusi pendidikan wajib menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan bebas intimidasi. Jangan sampai ada mahasiswa yang ingin bersuara, justru dibungkam atau dijadikan bahan candaan. Sikap tegas harus diimbangi dengan perlindungan bagi mereka yang ingin menjaga integritas kampus.

Mulai dari Reformasi Etika

Namun, reformasi sistem tak akan berarti jika pendidiknya sendiri abai pada etika. Guru dan dosen harus menjadi teladan utama bukan dengan pidato, tapi dengan tindakan. Menolak hadiah secara sopan adalah pelajaran moral paling nyata, bahkan tanpa harus menyalakan proyektor di kelas. Dan tentu saja, perubahan budaya ini harus mengalir sampai ke lorong-lorong informal, hingga ke kantin tempat mahasiswa biasa bercengkrama dan berdiskusi soal “jalan belakang” menuju nilai A. 

Ruang-ruang pembiasaan ini harus dibentuk. Bahwa belajar adalah kerja keras, bukan kerja cerdas dalam membungkus parcel. Bahwa nilai tinggi adalah buah usaha, bukan hasil musyawarah dengan plastik mika dan pita emas. Dari ruang kelas hingga ke kantin, integritas harus ditanam, disiram, dan dijaga tumbuhnya setiap hari.

Pendidikan bukan jual beli. Bukan juga kompetisi hadiah akhir semester. Kita bukan biro jasa penggembira raport, tapi pengawal akal sehat generasi masa depan.

Kalau hari ini kita membiarkan ‘terima kasih beraroma nilai’, maka jangan kaget kalau kelak negeri ini dikelola oleh orang-orang yang lebih paham etika amplop daripada etika profesi.

Mari kita kembalikan makna profesi guru dan dosen sebagai pendidik sejati. Yang menanamkan pengetahuan, bukan memperdagangkannya. Yang menerima rasa hormat, bukan bingkisan. Yang menginspirasi dari sikap, bukan menunggu kiriman saat ujian. Karena di tengah zaman yang semakin transaksional, integritas pendidik adalah kompas moral yang terakhir kita punya. Jangan sampai itu juga ikut kita lelang.

Editor: Yud

Gambar: Pexels