Coba kita tengok sejenak kehidupan warga kota. Bangun pagi buru-buru, sarapan seadanya, lalu berangkat kerja melawan macet, pulang malam, kadang lanjut lembur, dan akhirnya tidur pun dengan kepala penuh notifikasi WhatsApp grup kantor. Di sela-sela kesibukan itu, kapan sempat ikut tahlilan, yasinan, atau nyekar ke makam kakek buyut? Jawabannya bisa jadi: “Nggak sempat”, “nggak tahu jadwalnya”, atau bahkan “emang masih relevan ya zaman sekarang?”
Menawarkan Gaya Keberagamaan yang Simpel
Di tengah ritme kehidupan masyarakat urban yang serba cepat dan cenderung individualistik, muncullah Islam versi yang lebih “praktis”—yang sering disebut sebagai purifikasi Islam. Ini adalah ajaran Islam yang ingin membersihkan agama dari unsur-unsur budaya lokal atau tradisi yang dianggap tidak punya dasar syariat kuat. Pada kenyataannya, Islam model begini lumayan cepat diterima di kota-kota besar. Kenapa bisa begitu? Yuk, kita kupas pelan-pelan.
Islam purifikasi menawarkan gaya keberagamaan yang simpel dan serba langsung. Nggak banyak basa-basi, nggak butuh persiapan rumit. Formatnya seringkali hadir dalam bentuk kajian singkat, ceramah YouTube, atau podcast 10 menit di Spotify. Sangat cocok dikonsumsi sambil ngopi atau nunggu ojek online.
Ajaran-ajarannya pun biasanya tegas dan lugas. Halal atau haram. Sunnah atau bidah. Boleh atau tidak. Dalam kehidupan warga kota yang penuh ketidakpastian, jawaban yang tegas ini terasa menenangkan. Tidak perlu debat panjang, cukup buka dalil dan selesai. Orang kota sering kali tak kenal tetangga sebelah rumah. Kegiatan sosial-keagamaan yang rumit jadi terasa asing. Bukan karena nggak peduli, tapi karena waktunya saja sudah habis untuk bertahan hidup.
Berbeda dengan desa, masyarakat hidup dalam komunitas yang erat. Praktik keagamaan seperti tahlilan, slametan, maulid, atau haul bukan hanya soal agama, tapi juga soal sosial. Mereka adalah momen berkumpul, berbagi, dan memperkuat rasa kebersamaan.
Maka wajar jika purifikasi Islam yang minim unsur budaya dan lebih individualistik terasa cocok dengan gaya hidup urban. Tinggal pilih kajian yang diinginkan, klik, dengarkan, dan selesai. Nggak perlu hadir fisik, nggak perlu repot urusan konsumsi atau koordinasi panitia.
Memang Sebuah Solusi, Tapi Jangan Sampai Melupakan Tradisi
Warga kota juga biasanya punya akses lebih luas ke literatur, teknologi, dan pendidikan. Mereka cenderung suka sesuatu yang bisa dijelaskan secara rasional dan sistematis. Nah, pendekatan purifikasi Islam sering menggunakan logika dalil dan struktur argumen yang jelas. Ini membuat ajaran-ajarannya terasa “masuk akal” dan meyakinkan di tengah banjir informasi yang bertebaran.
Meski begitu, ada satu hal yang perlu diwaspadai. Jangan sampai kesederhanaan dan kepraktisan itu membuat kita kehilangan kekayaan identitas Islam Nusantara yang selama ini sudah mengakar kuat di masyarakat. Tradisi seperti tahlilan, ziarah, slametan, atau peringatan hari besar Islam bukan sekadar budaya. Ada nilai sosial, spiritual, dan sejarah panjang umat Islam di tanah air di baliknya. Tradisi itu pula yang ikut membentuk peradaban Islam Indonesia yang ramah, toleran, dan guyub. Kita bisa berbeda tafsir, tapi tetap saling salam dan srawung.
Buat para pemegang kebijakan dan tokoh agama, tantangannya ke depan adalah menghadirkan Islam yang bisa menjembatani, yakni tetap setia pada sumber ajaran dan dekat dengan realitas sosial. Jangan hanya memihak pada bentuk yang paling kaku, tapi pikirkan bagaimana fasilitas dan pendidikan keagamaan bisa merata—tidak hanya di desa, tapi juga di perkotaan.
Dan satu hal lagi, perbaiki kesejahteraan guru ngaji dan tokoh masyarakat, agar mereka bisa tetap hadir di tengah arus zaman. Karena Islam tidak cukup disampaikan lewat internet saja—tapi juga lewat teladan hidup, obrolan ringan, dan kebersamaan dalam doa-doa panjang di malam Jumat. Karena sesibuk-sibuknya warga kota, mereka tetap butuh kedamaian yang hanya bisa lahir dari agama yang membumi—bukan sekadar agama yang cepat dan praktis.
Editor: Yud
Gambar: Pexels
Comments