“Selamat sore, bu. Saya Ahimsa, perwakilan mahasiswa UGM yang sedang melaksanakan KKN secara daring di desa ini. Kami sudah berdiskusi dengan Pak Kades mengenai beberapa kegiatan pembelajaran selama pandemi. Apakah boleh kami dipandu dan dibantu untuk nantinya melaksanakan program-program? Terima kasih.”

KKN Daring

Siapa sangka bayangan soal Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang seru dan asyik dengan penerjunan langsung harus sirna di tahun ini. Jadilah ia menjelma Kuliah Kerja Ngonline alias KKN Daring, upaya kampus untuk tetap bisa memfasilitasi kegiatan pemberdayaan masyarakat di tengah situasi yang tidak menentu ini.

Jumat sore itu, pesan itu kuluncurkan dari Kota Jogja ke satelit luar angkasa lalu mendarat di ponsel seorang guru di suatu desa di Bengkulu Selatan. Sebelumnya, kalimat dalam pesan tadi sudah ku godhog bersama teman-teman satu sub unit—sebutan untuk desa atau dusun yang menjadi lokus terkecil lokasi KKN. Aku menghindari memakai kata-kata asing karena berpikir penggunaan Bahasa Indonesia akan lebih mudah dipahami.

Rupanya, balasan sang ibu guru malah membuatku syok. Beliau memintaku untuk datang besok Senin ke sekolah supaya bisa berdiskusi dan memantau langsung kegiatan pertama setelah libur pandemi. Waduh, pikirku, “maksudku kan dipandu untuk nggarap kegiatan online”. Kubaca lagi kalimat-kalimat yang tadi kukirim.

Kemampuan Berkomunikasi

Kemungkinan ada dua. Pertama, bu guru kurang teliti membaca pesanku soal KKN daring. Atau kedua, masyarakat di sana mungkin tidak akrab dengan istilah daring. Aku sebenarnya sudah agak ragu dengan memakai kata itu. Kupilih kata daring daripada online karena berpikir itu bahasa Indonesia. Hanya setelah membaca respon bu guru, rasanya kok, “jangan-jangan kata itu masalahnya”.

Akhirnya aku memohon maaf dan menjelaskan bahwa kegiatan KKN kali ini tidak bisa dilaksanakan secara langsung alias harus online—itulah akhirnya kata yang kugunakan selanjutnya dalam percakapan kami.

Memang begitu, anggota timku nyaris semuanya berada jauh dari Bengkulu. Sebagian di Jogja, sebagian di kampung masing-masing yang tersebar di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Hanya ada satu yang paling dekat dengan lokasi KKN, itupun beda kabupaten. Ia tinggal di Kaur, sekitar 33,6 km dari Bengkulu Selatan.

Jarak yang tidak dekat dalam melakukan kegiatan KKN tentu saja menjadi tantangan bagi kami. Selain soal program-program yang terbatas untuk dilakukan, tantangan lain yang harus dihadapi ialah perihal komunikasi. Lihat saja, kata daring itu tadi salah satu contoh nyatanya. Di sini kata itu sudah akrab dipakai, ternyata di tempat lain belum.

Bersyukur sekali teman-teman di tim cukup telaten berkomunikasi dengan pihak desa dan pihak desa memberikan tanggapan baik yang positif. Satu dua kali kami bertatap wajah lewat aplikasi Google Meet dan selebihnya berdiskusi melalui grup WhatsApp.

Kesenjangan

Ikut prihatin dengan beberapa teman di tim KKN lain yang harus berjuang menghubungi warga lokasi KKN-nya. Aku mendengar banyak cerita soal tanggapan yang lamban, warga yang tertutup, bahkan ada tim yang ditolak dengan cara tidak mengenakkan.

Sebenarnya tim KKN-ku juga tidak sempurna. Kami pun menghadapi tantangan. Sampai sejauh ini, aku belum berhasil mengumpulkan narahubung untuk sasaran program yang aku dan teman-teman akan jalankan. Kata bu guru, akan sulit melakukan pembelajaran online di desa lokasi kami sebab tidak semua warga punya ponsel.

Informasi soal itu sebenarnya wajar dan aku harusnya sudah tahu. Hanya saja, saat mendapat informasi itu secara langsung dari beliau, terasa ada yang berdesir di dadaku. Antara perasaan syukur karena sadar mudah bagiku dan teman-teman untuk mengakses teknologi informasi di sini bercampur perasaan sedih karena baru sadar di luar sana rupanya ada yang tidak merasakan kenikmatan itu.

Yang pasti, aku menjadi yakin KKN online dengan segala kurang dan lebihnya akan memberikan banyak pelajaran untuk kami. Supaya kami sabar dan mengurangi prasangka antar sesama anggota tim maupun warga, karena komunikasi kami jelas terbatas. Bahasa yang disampaikan dan pesan yang diinginkan bisa jadi berbeda maksud.

Kita juga diingatkan betapa dunia ini sangat luas. Indonesia sangat luas. Keadaan setiap kita berbeda-beda. Semoga kita bisa saling memahami dan melihat potensi kebaikan dari setiap yang ditemui.

Penulis: Ahimsa Wardah Swadeshi

Penyunting: Aunillah Ahmad