Tujuan awal saya masuk grup whatsapp alumni pondok bapak saya adalah mendapatkan informasi dari teman-teman alumni pondoknya dulu. Maklum, diumurnya yang lebih dari setengah abad, bapak saya gagap teknologi (gaptek) parah. Bahkan sampai saat ini beliau masih menggunakan nokia jadulpun nggak bisa, apalagi berbalas pesan lewat whatsapp.
Awal Menjadi Anggota Grup Bapak-Bapak
Beberapa pekan lalu salah satu teman bapak datang ke rumah dan memberi informasi bahwa teman seangkatan pondok mereka dulu akan mengadakan reuni dan saat ini sudah membuat grup whatsaap untuk memudahkan obrolan. Namun, diantara anggota-anggota grup yang telah ada, hanya bapak yang nomornya belum dimasukkan. Alhasil, tanpa sepengetahuan saya, bapak memberikan nomor saya kepada temannya itu begitu saja.
Mengetahui hal tersebut, saya juga tidak keberatan. Tak berselang lama, ada pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal yang mengirimkan sebuah tautan undangan grup. Tanpa berpikir panjang, saya pun langsung mengklik tautan undangan grup tersebut dan secara resmi saya telah menjadi anggota grup tersebut yang tidak lain adalah grup alumni pondok tahun 1980an.
Begitu masuk, saya disambut oleh berbagai pesan hangat, obrolan, hingga nostalgia yang menarik untuk selalu disimak. Banyak juga yang japri untuk sekedar bilang “Masih ingat aku, to?”. Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar.
Isi Grup Pasca Reuni
Setelah acara reuni selesai, topik obrolan mulai melenceng. Awalnya topik berisi cerita-cerita lucu tentang masa-masa di pondok, reuni pertama yang baru saja diadakan kemarin, hingga pesan-pesan moral seperti waktunya sholat malam, puasa, dan sebagainya. Tiba-tiba entah dari mana datangnya, topik obrolan mulai berubah jadi marketplace meme cabul dan mulai muncul diskusi yang seharusnya tidak perlu dibahas. Ya, meskipun mereka semua alumni pondok pesantren yang cukup terkenal di Kota Kediri ini ternyata obrolan mereka tak jauh beda dengan obrolan bapak-bapak di warung kopi pada umumnya.
Banyak dari mereka yang mulai mengirimkan meme, foto hingga video yang tidak pantas, semuanya masuk dalam grup ini. Kini hampir tiap pagi saya disambut dengan foto cewek yang memamerkan buah dadanya. Ada juga yang sering ngirim foto janda cantik yang katanya “lagi cari imam” yang diperolehnya melalui facebook. Tak jarang pula kiriman tersebut dilengkapi gombalan khas bapak-bapak, “yang sabar ya mbak, mungkin jodohmu ada disini”.
Pengirimnya Bukan Sembarang Orang
Yang bikin tambah miris, pengirimnya bukan orang sembarangan. Ada yang menjadi ustadz bahkan kiyai di derah tempat tinggal mereka masing-masing. Saya hanya bisa mbatin, apakah yang mengirim gambar-bambar seperti itu tidak punya rasa malu sama teman anggota grup yang lain? Padahal teman-teman mereka juga banyak yang saat ini menjadi kiyai. Selain itu, dalam grup ini juga ada seorang pengasuh pondok mereka dulu.
Sebenarnya, beberapa hari lalu setalah acara reuni diadakan, ada yang bertanya, “ini grup diisi nomor pribadi semua kan, bukan nomor anak atau istrinya?” Saya memilih diam dan tidak mengakuinya. Takut kalau saya jujur pasti langsung dikeluarkan dari grup itu. Kalau saya dikelurkan, bapak pasti tidak mendapat kabar apa-apa lagi soal teman-teman pondoknya dulu.
Hal itupun juga tidak saya ceritakan ke bapak, kalau bapak tahu pasti bilang “lha yo wes keluar saja Nduk”. Tapi saya tidak tega. Ini adalah salah satu cara agar bapak bisa dapat info apapun dari teman-temannya.
Alasan Tetap Bertahan di Grup Bapak-Bapak Ini
Akhirnya, mau nggak mau saya harus tetap bertahan dalam grup yang tiap hari bikin istigfar dan ngelus dada, sambil berharap grup ini kembali seperti dulu. Ngobrolin masa lalu dan saling mengingatkan untuk memperbanyak ibadah mempersiapkan kehidupan yang sesungguhnya, mengingat usia mereka sudah nggak muda lagi. Bukan jadi grup swipe left swipe right ala tinder bapak-bapak.
Semua ini saya lakukan demi bapak yang nggak pernah minta apa-apa dari anaknya ini, kecuali satu, “Nduk, bantu bapak agar bisa masuk grup WA alumni pondok”.
Editor: Pratama
Gambar: Canva
Comments