Salah satu pekerjaan idaman banyak orang, khususnya calon mertua, adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain dipandang sebagai pekerjaan yang mentereng, PNS juga dianggap mampu memberikan kestabilan upah dan prospek jangka panjang di tengah kondisi ekonomi yang tidak pasti. Namun, fakta tersebut tidak dapat disangkut-pautkan dengan apa yang dirasakan oleh anak PNS akibat pekerjaan orang tuanya. Apakah anak PNS juga ketiban berkah orang tua PNS? Belum tentu. Menurut saya, jadi anak PNS itu bagai pedang bermata dua, banyak untungnya tapi ada nggak enaknya juga.

Ayah Saya PNS dan Saya Kesal

Saya terlahir sebagai anak dari ayah yang berprofesi sebagai PNS. Tapi bukan PNS dengan pangkat tinggi, hanya PNS biasa yang agak ngap-ngapan menjalani kehidupan. Dalam berkeluarga, kebutuhan kami tercukupi salah satunya oleh gaji dan tunjangan pegawai. Bahkan kami terbiasa untuk tidak khawatir terhadap pemotongan upah atau pemutusan kontrak kerja karena memang begitulah PNS, stabil.

Ketika memasuki dunia sekolah atau kampus, profesi PNS orang tua ini seakan jadi magnet yang membuat orang-orang berdecak kagum sekaligus menaruh perasaan curiga. Ketika ditanya apa pekerjaan orang tua dan saya menjawab PNS, banyak di antara mereka yang terlihat segan lalu berkata “anjay”. 

Agak kesal sih sebenarnya. Mungkin mereka berpikir bahwa menjadi PNS itu otomatis dilingkupi hidup yang makmur, atau jauh dari kata sulit sebab memiliki harta melimpah. Setidaknya penilaian itu benar jika dikaitkan pada PNS eselon tinggi. Saya juga yakin mereka memiliki super-power. Tapi, PNS golongan rendah seperti ayah saya tidaklah demikian.

Walaupun memiliki gaji beserta tunjangannya, keluarga saya nggak melulu menikmati hasil jerih payah, bahkan kami sempat kesulitan membayar UKT kuliah yang cukup mahal. Saya memperoleh golongan UKT yang tidak masuk akal jika dibandingkan dengan gaji orang tua. Walaupun saya mengisi data gaji orang tua yang pas-pasan, tetap saja stigma PNS yang mapan dan bergaji besar masih sangat melekat sehingga biaya kuliah saya dipatok tinggi.

Susah Mendapat Keringanan UKT

Awalnya saya ingin mengajukan keringanan nominal UKT sebesar 50%. Lumayan untuk mengurangi beban keluarga. Namun, saya terkendala dalam hal persyaratan, di mana yang berhak mengajukan adalah kategori mahasiswa kurang mampu atau yatim piatu serta dibuktikan dengan surat dari instansi pemerintah. Kemudian, instansi tersebut akan mencocokkan dengan riwayat keluarga untuk menghindari kesalahan.

Tentu saja pekerjaan orang tua akan dicek dan diamati. Jika pekerjaannya terlihat menjanjikan, maka sangat mustahil untuk menego UKT. Saya bisa membayangkan betapa enggannya mereka memberikan surat pengajuan tersebut untuk anak PNS.

Saya tidak berusaha membandingkan, tapi d imanapun berada, anak PNS dari pangkat apapun akan selalu dinilai mampu dari segi finansial. Ya sudah, kalaupun tidak diperbolehkan, apa boleh buat. Kami mencoba mencari jalan keluar yang lain. Setelah memutar otak dan melakukan penghematan, kami pun bisa membayar UKT hingga lulus.

Sulit Mendapat Beasiswa

Diskriminasi lain yang saya alami adalah kesulitan diterima beasiswa. Lagi-lagi dokumen persyaratan menjadi batu sandungan. Setiap dokumen persyaratan beasiswa dari berbagai lembaga, pemerintah, atau institusi lain segera membuat saya rendah diri, sebab syarat pertama yang harus dipenuhi adalah “bukan anak PNS/TNI/POLRI”. Bukannya tidak mau berusaha atau pesimis, tapi tanpa diseleksi pun sudah pasti saya gagal. Mungkin jika mendaftar, saya langsung di-blacklist di urutan pertama.

Jujur saja, saya tidak ingin dilabeli profesi orang tua dalam meraih apa yang saya inginkan. Orang tua saya bahkan tidak bergaji fantastis seperti eselon 1. Mungkin pebisnis atau pekerja kantoran memiliki gaji yang jauh lebih besar. Tapi, malah golongan PNS yang selalu kena getahnya, khususnya PNS golongan rendah, sehingga menyulitkan keturunannya untuk mencari jalan hidupnya sendiri. Saya mulai berpikir, apakah anak PNS itu memang dikutuk ya? Sudah nggak dapat beasiswa, masih tertimpa biaya UKT lagi.

Jadi Anak PNS itu Nggak Fair dan Menyebalkan

Saya agak tertekan dengan label anak PNS. Seolah semua pintu dunia tertutup bagi saya dan saya dilarang menjamah berbagai kemungkinan masa depan. Kesenjangan sosial begitu terlihat, tapi dianggap fair oleh kebanyakan orang, bahwa anak PNS nggak bisa mendapatkan beasiswa dengan alasan mampu secara finansial. 

Padahal jadi PNS itu nggak ada spesial-spesialnya, contoh kenaikan upah nggak signifikan, waktu gajian molor, dan memiliki rasa “tanggung jawab sosial”. Apa maksudnya? Misalnya, ketika orang tua saya diajak makan-makan bersama teman-temannya, merekalah yang akan membayar tagihan pembayaran. Hal itu merupakan bentuk “tanggung jawab sosial” PNS yang dianggap mapan dan berlebihan duit. Kami nggak menyombongkan diri, hanya ingin menghindari omongan orang, dan begitulah faktanya.

Jadi anak PNS golongan rendah itu sebenarnya cukup menyedihkan sebab mengalami diskriminasi di mana-mana dan diragukan kemampuannya. Ini merupakan pengalaman keluarga saya, bisa jadi berbeda dengan cerita anak keluarga PNS lainnya. Saya tuliskan ini karena saya sudah sangat jengah menghadapi situasi sebagai anak PNS. Saya juga berharap supaya nggak makin bertambah diskriminasi yang diterima oleh anak PNS dan supaya anak PNS bisa diterima dengan baik oleh lingkungannya masing-masing.

Editor: Yud

Gambar: Pexels