Pernah nggak sih, ngerasa kerja di bawah atasan yang hobinya ngatur sampai ke jenis font di laporan? Atau disuruh revisi desain karena “warna biru langitnya terlalu galau”? Selamat! Bisa jadi kamu sedang jadi korban seni tertinggi dalam dunia kerja yang toxic: micromanaging.

Ya, micromanaging. Sebuah kata yang sering dibisikkan di pantry, dicurhatkan di grup WA alumni, atau disumpahin diam-diam waktu meeting Zoom yang sebenarnya bisa jadi email.

Micromanaging adalah bentuk pengawasan yang kelewat batas. Atasan merasa harus mengatur semuanya—dari ide besar sampai tanda baca. Alih-alih memberikan kepercayaan, mereka justru sibuk meragukan, mengontrol, dan membetulkan setiap langkah bawahan. Kalau bisa, napas pun ikut dikoreksi.

Dampak Micromanaging: Mati Pelan-pelan dari Dalam

Yang paling menyedihkan, micromanaging bukan cuma bikin kerja nggak nyaman. Ia juga pelan-pelan menghancurkan kepercayaan diri. Orang-orang hebat dengan ide segar bisa mendadak ciut. Takut salah. Takut dimarahi. Akhirnya mereka memilih diam daripada disalahkan.

Lalu, si bos dengan bangga berkata, “Tuh kan, makanya harus saya arahkan terus.”

Padahal, kalau diberi ruang, bisa jadi bawahan tadi justru menciptakan sesuatu yang keren. Tapi ya itu tadi: micromanaging adalah seni halus merusak potensi.

Seperti chef yang menyuruh asistennya motong wortel sepanjang 3,4 cm, lalu marah karena terlalu presisi. Absurd, kan?

Kenapa Micromanaging Subur di Kantor?

Budaya ini tumbuh subur di banyak tempat kerja Indonesia. Sebab kita sering menganggap bos yang baik adalah yang cerewet, tahu semua detail, dan rajin “mengawasi”.

Bos yang santai dan memberi ruang malah sering dianggap nggak tegas.

Padahal, kerja itu bukan soal dikontrol, tapi soal diberi kepercayaan. Pekerja yang dikasih ruang justru bisa berkembang lebih cepat. Tapi kepercayaan itu sering digadaikan dengan alasan “demi kualitas” atau “agar tidak melenceng dari visi”.

Lucunya, micromanaging sering dibungkus dengan kalimat manis seperti:

“Aku cuma mau bantu supaya hasilnya maksimal.”
“Kamu hebat, tapi perlu lebih terarah.”
“Aku cuma pengin pastikan kamu kerja sesuai standar.”

Kedengarannya perhatian, tapi rasanya? Capek hati, capek tenaga, hilang semangat kerja.

Dari Bos, Menular ke Senior, Jadi Budaya

Micromanaging juga menular. Saat manajer micromanage timnya, lama-lama budaya itu turun ke bawah. Senior yang dulu korban, sekarang jadi pelaku. Kantor pun jadi seperti ruang operasi: semua harus steril, semua harus sesuai SOP, improvisasi dilarang.

Lalu di mana kreativitas bisa tumbuh? Di mana ruang untuk belajar dari kesalahan?

Kalau semua keputusan harus lewat satu orang yang merasa paling tahu segalanya, ya tinggal nunggu burnout massal.

Ironisnya, banyak perusahaan yang mengaku “inovatif” atau “pro-kreativitas” justru masih pelihara micromanager di dalamnya. Seminar motivasi oke, jargon kolaboratif juga keren—tapi semua ide tetap harus ACC bos besar yang kadang nggak ngerti konteks lapangan.

Solusi: Dari Sadar Diri Sampai Bangun Kepercayaan

Lalu, apa solusinya?

Pertama, para atasan perlu sadar: mengontrol berlebihan bukan tanda sayang, tapi tanda kurang percaya. Pemimpin yang baik bukan yang mengatur setiap detik, tapi yang membangun kepercayaan dan memberi ruang.

Kedua, organisasi perlu menata ulang sistem evaluasi. Jangan cuma menilai “seberapa banyak bos tahu pekerjaan tim”, tapi lihat juga “seberapa mandiri dan berkembang timnya”.

Ketiga, para pekerja juga perlu belajar bicara. Kalau merasa terkekang, coba ajukan diskusi. Kadang micromanaging muncul bukan karena niat buruk, tapi karena miskomunikasi atau rasa tidak aman dari si atasan sendiri.

Micromanaging Bukan Seni Memimpin

Micromanaging memang seni—tapi bukan seni memimpin. Ia adalah seni membuat orang pintar terlihat tak berdaya, ide segar jadi basi, dan tempat kerja terasa seperti ruang kelas dengan guru killer.

Kalau seni ini terus dipelihara, jangan heran kalau generasi muda yang semangatnya membara hari ini, lima tahun lagi mendadak jadi zombie korporat.

Maka, yuk ubah seni itu jadi ruang kolaborasi. Karena potensi manusia tidak tumbuh di bawah bayangan ketakutan.

Gambar: Peopleimages

Editor: Pratama