Beberapa hari yang lalu viral lagi. Yang bikin tangan-tangan jahanam netizen mengeluarkan jurus-jurusnya, melontarkan siraman-siraman pedas kuah seblak. Viral, seorang bapak yang marah-marah kepada kasir minimarket biru-kuning-merah, karena anaknya yang beli “game online” seharga 800 ribu rupiah —mungkin yang dimaksud voucher game.

Tak bisa dimungkiri, 800 ribu bukanlah angka yang tidak kecil. Sang bapak dan istrinya menuntut kasir minimarket untuk tidak menjual voucher game online kepada anak di bawah umur apalagi dengan jumlah yang besar karena dirasa “mengganggu privasi orang” —hahh?! are you sure? Bahkan kalo ga salah dengar, si ibu menuduh si bocah ini mencuri, WOW. Dah lah, bikin geleng-geleng kepala saja.

Daripada menyalahkan bapaknya terus yang notabene sudah dijalankan netizen lain. Kita perlu tau alasan si bocah kenapa kok dia merelakan beli voucher game sebanyak itu? Dan gimana ceritanya, kok dia punya uang segitu banyak?

Top Up Game 800 Ribu demi Gengsi

Seperti yang kita tau, game sekarang sudah bukan sekadar penghibur di kala jenuh atau pengisi di kala kosong. Namun, gengsi bermain dan berkompetisi makin tinggi. Bahkan, kayaknya telah tercipta stratifikasi sosial dalam game, utamanya game online. Semakin tinggi rank yang player punya, bakal menaikkan strata yang tinggi pula, hingga muncul istilah-istilah pro player ‘untuk player yang jago’ sampai noob atau newbie ‘untuk player yang mainnya ga jago-jago amat dan cenderung buruk’.

Selain itu, industri game makin ke sini makin gila-gila. Gila-gilaan bikin game yang keren dan juga gila-gilaan cari cuannya. Para developer game selain beromba-lomba bikin game keren, berlomba-lomba mencari cuan. Beberapa game bisa mematok harga tinggi untuk skin care doi character ataupun senjata yang menurut penulis ga penting-penting amat, tapi kita kembali lagi ke gengsi. Semakin banyak dan keren skin yang dimiliki, strata sosialnya akan naik dan punya julukan “sultan”. Bahkan beberapa developer ga segan-segan bikin game, ya pay to win —siapa yang bayar dia mudah menangnya, dengan privilege yang didapat.

Kembali ke si bocah yang beli voucher game 800 ribu. Kalo mau positif thinking, mungkin si bocah mau beli sesuatu di game yang sistemnya pay to win biar jago. Atau kalo mau negatif thinking, mungkin si bocah saking jeleknya main, udah beli pay to win masih cupu, akhirnya dia berusaha untuk menaikkan strata sosialnya ke arah “sultan”. Cil.. cil.. bikin heboh se-Indonesia aja.

Ngepet

Pertanyaan selanjutnya, gimana si bocah kok bisa dapat uang sebanyak itu? Kalo ga salah, terdapat statement si ibu yang bilang si bocah mencuri. Kalaupun dia sampai mencuri pasti ada yang salah. Akan tetapi, mari kita berpositif thinking. Mungkin saja si bocah punya beberapa lot saham atau main “cryptocurrecny” yang kita sebut saja ngepet, menggunakan babi —tapi gatau ditangkap sama 7 pria bugil atau engga, chuakzz.

Masih banyak orang yang awam metode ngepet ini untuk mendapatkan cuan. Selain metode ngepet masih banyak orang yang belum tau pekerjaan-pekerjaan yang baru dan nge-trend di kalangan anak muda dan kebetulan duitnya gede bos. Misalnya, ngepet media sosial analyst, desainer, konten kreator, editor, penulis, dan masih banyak lagi pekerjaan yang ga perlu selalu keluar rumah jam 7 pagi lalu kembali jam 6 sore. Mungkin pekerjaan-pekerjaan ini yang bikin seorang ibu marah-marah karena tetangganya kaya, tapi ga pernah keluar rumah. CHA CHA CHA.

Oke, lupakan soal ngepet dan kawan-kawannya. Kembali ke topik si bocah EpEp 800 ribu —termasuk 7 pria bugil dan ibu-ibu marah. Kita ga tau apakah statement si ibu tentang si bocah mencuri itu benar atau engga, yang jelas, penulis harap tidak. Karena pasti ada yang salah kalau si bocah sampai mencuri demi sebuah permainan.

Pendapatku soal kasus ini, kembali lagi ke orang tuanya yang “seharusnya” bisa memantau aktivitas daring anak di bawah umur. Main di luar aja khawatir berantem sama anak tetangga, masa adeknya main smartphone ga takut kena konten pornografi, link phising, gaming disorder, penipuan, dan lain-lain.

Buat petugas pegawai minimarket, menurutku sudah benar dengan melayani konsumennya tanpa pandang bulu, mau tua-muda, kaya-miskin, pria-wanita. Kalau ada yang konsumen perlu bantu, ya mereka pasti bantu. Tenang mas kasir, saya paham kok. Dulu saya waiters, sama-sama pelayan konsumen. Hihi.

Cheers 🙂

Editor: Nirwansyah

Gambar: detikFinance