Meskipun masih sering diremehkan oleh calon mertua, tetapi menjadi seorang penulis buku bisa membuat nama kita terdengar keren di tongkrongan. “Oh, David yang penulis itu ya,” Setidaknya itu yang saya bayangkan ketika ada yang membicarakan tentang saya. Pasalnya, proses menjadi seorang penulis itu terbilang sulit. Belajarnya bertahun-tahun, menulisnya bisa berbulan-bulan. Jadi, ketika ada yang mengakui saya sebagai penulis, hati ini terasa meleleh. Sangat bangga rasanya.

Terlebih, saya hanyalah penulis indie. Berbeda dengan penulis yang bukunya sering nangkring di rak Gramedia, saya harus berusah payah untuk mempromosikan buku yang sudah saya tulis dengan air mata. Hal tersebut membuat saya semakin terharu ketika ada yang mengenal saya sebagai penulis. Artinya, meskipun belum sampai ratusan atau ribuan pcs terjual, masih ada orang yang mengakui saya sebagai penulis.

Ya, masih banyak penulis indie—penulis yang memilih terbit melalui penerbit kecil, harus mempromosikan bukunya mati-matian. Sudah hampir mati pula, tapi ternyata hanya terjual puluhan. Miris? Belum. Bahkan, ada penulis indie yang bukunya hanya terjual belasan. Kasian. Menjadi penulis indie tidak untuk semua orang.

Penulis Buku Indie Sulit Menyelesaikan Sebuah Naskah Utuh, Harus Dibayar dengan Air Mata

Menyelesaikan sebuah naskah sehingga bisa menjadi bacaan utuh berupa buku bukanlah hal mudah. Bagi saya sendiri, menulis buku membutuhkan latihan bertahun-tahun. Setelah mulai terbiasa menulis tulisan pendek, baru saya berani menyiapkan napas untuk menulis sebuah naskah yang diniatkan menjadi buku.

Apakah rencana tersebut langsung berhasil? Nyatanya, tidak. Banyak (calon) penulis, termasuk saya sendiri harus membuat belasan atau puluhan draf sampai akhirnya bisa jadi sebuah buku utuh. Sebelum mencapai titik itu, draf-draf yang ada terpaksa tidak terselesaikan. Entah karena ide yang mentok, ketidakmampuan untuk konsisten, hingga ketakutan bahwa ide yang akan dituangkan terlalu biasa.

Makanya, ketika banyak penulis yang bukunya tak laku-laku, saya jadi sangat kasihan. Ya, termasuk kasihan dengan diri sendiri. Padahal, buku yang kurang laku tersebut, bukan berarti jelek isinya. Entah salah milih penerbit, atau memang penulisnya sedang ditimpa sial saja. Pasalnya, memang tidak mudah terlahir sebagai orang Indonesia dan bermimpi menjadi penulis buku best-seller.

Banyak Penerbit Lepas Tangan, Tidak Aktif Mempromosikan

Ya, buku yang bagus memang akan menemukan pembacanya. Namun, jika tidak didukung oleh penerbit yang ‘ramah penulis pemula’, buku bagus hanya berhenti menjadi file yang telah diedit dan layout, tetapi tidak kunjung naik cetak.

Hal ini saya alami sendiri. Setelah naskah sudah lolos review dan siap untuk pre-order, saya cukup deg-degan karena takut naskah yang sudah ditulis berminggu-minggu tersebut, tidak ada yang beli. Ternyata, itu hanya prasangka buruk saya saja. Ada yang beli kok, tetapi jumlahnya memang menyedihkan. Buku pertama saya, hanya laku belasan ketika pre-order gelombang pertama.

Sebagai penulis indie memang harus ekstra sabar. Buku yang terbit lebih cepat dari terbitan Gramedia dan kawan-kawannya, memang memiliki harga besar yang harus dibayar. Penulis harus punya branding yang kuat, fanbase yang loyal, dan uang yang tebal agar bisa melaksanakan pre-order dengan jumlah pesanan ratusan hingga ribuan. Pasalnya, penerbit indie biasanya sistem print on demand (POD), dicetak sesuai pesanan. Jadi, penulis sendirilah yang harus bertaruh, berapa buku yang harus dicetak agar bisa melayani para calon pembeli dan bisa tetap dapat untung yang sepadan?

Di sisi lain, banyak penerbit indie yang terlalu santai. Penulisnya sudah mati-matian promosi, tetapi si penerbit hanya berfungsi layaknya percetakan. Pasca launching sampul buku, tidak dibantu dipromosikan. Tidak semua, tetapi banyak yang seperti itu. Alhasil, seperti judul tulisan ini, pembeli dari buku-buku penulis indie kalau bukan keluarga sendiri yang beli, ya teman dekat yang kasihan.

Meskipun begitu, saya tidak menyerah untuk bermimpi menjadi penulis buku best-seller. Suatu saat nanti, entah melalui penerbit indie, atau penerbit besar yang waktu tunggu terbitnya hampir setahun, saya akan memuaskan pembaca dengan buku berkualitas yang layak beli. Ya, meskipun, hal tersebut tidak mengubah fakta bahwa saya sekarang saya adalah penulis indie yang suka godain keluarga dan teman sendiri untuk beli buku tipis saya yang baru terbit.

Namanya juga indie, independent. Harus siap kalau semuanya dilakukan sendiri. Menulis, promosi, packing buku, hingga mengantar buku ke ekspedisi. Saya bangga menjadi penulis indie, meski sambil nangis dikit.

Gambar: Getty Image

Editor: Pratama