Belakangan, salah satu topik yang menjadi bahan obrolan saya dan kawan setongkrongan adalah soal nama anak. Topik obrolan yang bisa dibilang cukup kelewat visioner sebetulnya. Sebab banyak di antara kami yang masih belum memiliki keinginan untuk menikah dalam waktu dekat. Apalagi punya anak.

Walaupun demikian, kami tetap asyik menikmati obrolan tersebut. Justru bagi saya pribadi, ada banyak manfaat yang bisa saya petik dari obrolan itu. Yah setidaknya, di samping jadi tahu tren nama anak di masa depan selain Kenzo dan Queensha, saya juga mendapatkan daftar pilihan yang kelak akan dipakai oleh kawan saya untuk menamai anaknya.

Dengan begitu, nantinya saya bisa memilih cadangan lain yang tidak sama dengan nama anak kawan saya. Ini saya lakukan bukan karena alasan sok-sokan menghindari geger macam konflik seorang influencer yang dulu protes nama anaknya dipakai sama orang lain loh, ya. Semata karena… ya masak nama anak saya dan kawan saya sama, sih. Kayak kurang ide nama wae ngunu lho.

Berselang berapa hari kemudian setelah kami mengobrol soal tema ini di tongkrongan, muncul berita di media sosial bahwa ada seorang bayi, yang namanya terinspirasi dari nama salah satu instansi pemerintahan. Bukan terinspirasi lagi malahan, betul-betul literally persis sama kayak nama instansi pemerintahan. Sontak, berita ini bikin riuh lini masa saya.

Salah satu kawan langsung membagikan tautan berita tersebut di grup WA tongkrongan. Seolah memantik kembali obrolan sesi kedua soal nama anak. Tapi, dalam tajuk diskusi online.

Sayangnya, sebagaimana warganet pada umumnya, alih-alih berdiskusi, banyak dari anggota grup yang malah berkomentar dengan nada menertawakan. Tak sedikit pula kawan saya yang menganggap orang tua yang ngasih nama ini sedang bercanda. Ya gimana ya, sependek pengetahuan saya, nama anak yang diambil persis seperti instansi pemerintah tempat ayah ini bekerja.

Di antara riuhnya komentar di grup, ada satu komentar kawan saya yang cukup menyita perhatian. Kurang lebih komentarnya begini, “Itu orang tuanya apa nggak mikir ya, nanti pas sudah besar, si anak jadi rawan kena perundungan?”.  Komentar ini yang lantas menjadi bahan obrolan dan diskusi kami di grup.

Kalau dipikir-pikir, ya memang betul sih, nama anak yang terlalu unik atau nyentrik ini bisa bikin si penyandang jadi rawan kenaperundungan. Wong yang namanya standar atau biasa-biasa saja tetap kena perundungan verbal diolok-olok gitu, kok. Apalagi sebaliknya.

Sebetulnya nggak ada salahnya, sih, pengen keliatan anti mainstream dengan cara ngasih nama anak yang unik dan nyentrik. Tapi, mbok ya, keamanan dan kenyamanan si penyandang nama jangan sampai luput diperhatikan. Apa tidak kasian, nantinya si penyandang nama bisa saja diejek dan diolok-olok gara-gara namanya yang kelewat nyentrik?

Ya kalau si orang tua tadi, bisa menjamin keamanan, kenyamanan, dan syukur-syukur bisa menumbuhkan perasaan percaya diri dan bangga kepada si anak akan nama uniknya, sih, nggak masalah ya. Tapi, saya rasa hal itu bukan perkara yang mudah.

Mendingan pakai nama yang normal dan tidak terlalu nyentrik saja, menurut saya. Pun kalau mau unik atau nyentrik, tetap perlu diperhatikan sejauh mana nama si anak ini, bisa diplesetkan menjadi bahan olok-olokan. Dibanding terlalu nurutin ego di awal, tapi malah jadi repot di akhir kan.

Saya tahu betul dengan kondisi saya saat ini yang jangankan punya anak, menikah saja belum, obrolan soal nama anak di kalangan kami bisa saja dianggap kelewat visioner. Tapi, dengan adanya berita dan obrolan ini, saya jadi punya gambaran bahwa “baik”-nya sebuah nama anak bukan cuma berupa arti atau makna namanya saja, tapi juga berupa rasa nyaman dan aman kelak dari perundungan.

Editor: Nawa

Gambar: google.com