Lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negri (rutan) atau yang kita kenal sebagai penjara, merupakan wadah untuk melakukan pembinaan bagi para pelanggar hukum. Selain pembinaan keterampilan, fokus pembinaan juga diarahkan pada peningkatan kualitas kepribadian sebagai sarana pemantik spirit keimanan agar narapidana menyadari kesalahan serta diharapkan bisa mengubah sikap mereka ke jalan yang lebih baik.
Masuknya bulan suci ramadan tentu tak hanya menjadi momen spesial bagi orang-orang di luar sana, agar bisa mengejar pahala ibadah sebanyak-banyaknya. Namun juga menjadi momen bagi lapas dan rutan untuk mengoptimalkan proses pembinaan kepribadian bagi orang-orang yang berada di balik dinding tembok penjara.
Selain kewajiban berpuasa dan salat lima waktu, narapidana juga dituntut senantiasa menjalankan ibadah-ibadah lain seperti tadarus dan salat tarawih. Untuk kegiatan yang terakhir ini, agar bisa berjalan dengan aman dan tertib maka, lapas atau rutan biasanya membentuk tim yang memiliki tugas mengawasi pelaksanaan salat tarawih dari awal sampai akhir, mengingat pelaksanaanya berlangsung di malam hari. Tim ini biasanya beranggotakan delapan hingga sepuluh orang pegawai.
Sebagai petugas pemasyarakatan yang pernah terlibat dalam kegiatan ini, tentu menjadi pengawas tarawih bukanlah perkara mudah. Sebab kesabaran kita ikut diuji.
Tugas pertama yang harus dilakukan pengawas tarawih sebelum pelaksanaan salat dimulai adalah berkeliling blok hunian dan memasuki satu persatu kamar narapidana untuk mengajak mereka bergegas berangkat menuju ke masjid.
Tentu banyak alasan dari narapidana yang memang dari awal tak punya niatan datang ke masjid akan kami temui: sakit perut, sakit kepala, sakit gigi, dan beragam bentuk keluhan-keluhan lainnya.
Bagi narapidana yang keluhan kesehatannya terbukti, maka selanjutnya akan ditangani oleh petugas kesehatan kantor. Sedangkan bagi mereka yang ketahuan pura-pura, biasanya akan diancam dengan hukuman ringan: dimasukkan ke dalam ruang sel merah atau pengasingan, misalnya. Sel ini umumnya berukuran kecil, kotor dan bau. Biasanya memang dikhususkan bagi napi yang kerap bikin ulah.
Setelah semua narapidana memasuki masjid, tugas pengawas tarawih kemudian adalah mengatur narapida agar tertib di dalam masjid: menghimbau untuk mengisi saf kosong, atau menegur narapidana yang sibuk mengganggu narapidana lain.
Sehabis pelaksanaan salat isya dan penceramah mendapatkan giliran tampil di depan jamaah, saya dan para pegawas tarawih lain biasanya akan duduk di dekat pintu keluar-masuk masjid dan memantau pergerakan narapidan yang akan hilir-mudik.
Pada momen ini, narapidana yang mulai bosan atau dihantam rasa kantuk (mungkin salah satunya disebabkan oleh materi ceramah yang kurang memberi kesan menarik dan komikal) akan mencari alasan untuk bisa ke luar masjid dan berlama-lama menghabiskan waktu di luar sana.
Jawaban-jawaban template yang kerap bermunculan adalah pengin ke kamar kecil untuk buang air atau kepengin ambil air wudu saat kami menganjukan pertanyaan. Alasan ini digunakan secara bergiliran, meskipun di antaranya ada juga yang mungkin memang kebelet kepengin buang air.
Saat salat tarawih berlangsung pun kami tak lepas melakukan pengawasan, sebab di saat banyak orang berusaha khusyuk membaca doa, beberapa di antaranya malah bercanda dan sibuk mengganggu jamaah lain. Hal itu membuat beberapa di antara kami, kerap baru akan melakukan takbiratul ihram setelah iman salat punya tanda-tanda akan melakukan rukuk.
Jika pun ada narapidana yang hanya mampu mengikuti beberapa rakaat salat tarawih atau tak sanggup mengikuti hingga usai, maka petugas pengawas tarawih akan memberi peringatan kepada mereka lewat gestur tubuh untuk duduk di tempat dan tak menganggu narapidana lain yang sedang melaksanakan salat.
Nah, itulah rentetan tugas yang kadang mesti dilakoni oleh petugas pengawas tarawih. Namun di balik semua itu, ada juga kesan menghibur dan menarik yang tak jarang kami temui dalam rentetan proses pelaksanaan ibadah ini.
Tingkah konyol narapidana yang berusaha mencari dalih agar terbebas dari pelaksanaan salat tarawih, misalnya. Ekspresi komikal mereka saat menanggapi materi penceramah yang jenaka. Juga relasi interpersonal antar sesama narapidana yang sesekali coba mereka bangun demi menghalau rasa bosan atau kantuk saat penceramah berada di atas mimbar. Semuanya tak jarang memberi kesan komikal bagi saya khususnya. Dan pengalaman-pengalaman ini hanya bisa saya peroleh ketika menjadi pengawas salat tarawih di dalam penjara.
Pengalaman itu mungkin tak akan terulang di tahun ini sebab, pandemi membuat segala sesuatunya harus dilaksanakan sesuai dengan standar protokol kesehatan. Begitupun pelaksanaan salat tarawih tahun ini yang hanya bisa diikuti oleh beberapa narapidana secara bergiliran setiap malamnya, membuat kondisinya tak akan semeriah jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Comments