Berdiri megah di antara kabupaten Wonosobo, Temanggung, dan Magelang, Gunung Sumbing masih menjadi destinasi favorit bagi kebanyakan pendaki saat ini, salah satunya adalah saya. Sumbing ini merupakan gunung tertinggi ketiga di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru dan Gunung Slamet. Dengan ketinggian puncak 3.371 mdpl, tentu perlu banyak effort untuk bisa menggapai puncak tertingginya.
Mendaki gunung tidak hanya sekadar untuk menggapai puncaknya saja dan update di media sosial. Kegiatan mendaki merupakan kegiatan olahraga ekstrem, sehingga perlu fisik yang matang sebagai bekal dalam ekspedisi. Hal-hal yang perlu dilakukan sebelum ekspedisi selain persiapan fisik adalah menyiapkan peralatan mendaki. Peralatan mendaki yang proper menjadi salah satu faktor penting untuk memudahkan dan membantu kita dalam perjalanan, bahkan peralatan mendaki juga bisa menjadi penentu keselamatan seseorang.
Basecamp Gunung Sumbing via Gajah Mungkur
Pada pendakian kali ini, saya dan seorang kawan melalui jalur Gajah Mungkur yang terletak di Desa Lamuk, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah. Bagi yang membutuhkan bantuan navigasi, Google Maps bisa menjadi sahabat yang menuntun dengan menetapkan tujuan ke Basecamp Pemuda Mandiri. Biaya registrasi Gunung Sumbing via Gajah Mungkur adalah Rp. 30.000 per orang yang harus dibayarkan setiap pendaki sebelum memulai ekspedisi. Jalur pendakian ini menawarkan pengalaman mendaki yang pastinya tidak akan terlupakan, mulai dari basecamp ini petualanganmu di Gunung Sumbing akan diawali dengan langkah-langkah yang penuh makna.
Setiap pendaki akan di-briefing oleh petugas di basecamp sebelum memulai ekspedisi, adapun yang disampaikan adalah mengenai pantangan yang ada, seperti dilarang untuk menggunakan peralatan yang berwarna kuning, meludah atau membuang kotoran ketika di sabana, dan dilarang untuk mengeluh. Di basecamp juga tersedia ojek-ojek motor yang bersedia mengantarkan pendaki menuju pintu rimba, dengan membayar Rp. 30.000, akan sangat menghemat energi dan memangkas waktu perjalanan.
Pintu Rimba: Gerbang Menuju Pendakian yang Sesungguhnya
Pintu rimba yang ditandai dengan Gapuro Rahayu yang bertuliskan “Slamet Jiwo Rogo” menyambut setiap pendaki dan juga menjadi pengingat bahwa puncak merupakan tujuan pendakian, tetapi keselamatan adalah prioritas dalam pendakian. Setiap pendaki melantunkan doa sesuai kepercayaan masing masing sebagai sarana untuk meminta perlindungan kepada Tuhan YME. Sore hari dibarengi dengan hujan gerimis dan kabut tipis seakan turut menyambut kehadiran kami ketika memulai pendakian. Jalur pendakian yang basah dan licin kami lewati dengan perlahan dan pasti, di sinilah kekuatan sepatu pendakian mulai diuji.
Pemandangan pedesaan yang sesekali tampak menandakan perlahan posisi kita semakin tinggi. Hujan gerimis belum mau menyudahi tetesan airnya hingga bertambah deras yang mengharuskan kami berdua untuk menggunakan mantel hujan. Langkah perlahan tapi pasti, membuat pos satu dan pos dua tidak terasa sudah kami lewati. Tidak perlu waktu lama bagi kami berdua singgah di pos, cukup meneguk sedikit air minum untuk menyegarkan tenggorokan dan mencegah dehidrasi, lalu kemudian melanjutkan perjalanan.
Camp Area: Mengambil Momen untuk Istirahat Sebelum Menggempur Puncak!
Azan magrib mulai samar-samar terdengar ketika kami sampai di pos tiga atau camp area. Tidak mau berlama-lama, membuat kami berdua bergegas mengeluarkan tenda dari dalam carrier untuk didirikan. Tenda dan flysheet kami tegakkan dengan pasti, sehingga sudah ada tempat berlindung. Salah satu tips mendaki adalah mengganti pakaian basah yang telah digunakan untuk trekking, hal ini perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya hipotermia ketika cuaca dingin.
Perut seakan sudah tidak mau diajak kompromi, tidak bisa dipungkiri, bahwa tenaga dan energi sudah dipakai banyak untuk berjalan dari pintu rimba hingga camp area. Satu persatu logistik dikeluarkan, menu malam itu adalah ayam goreng, nasi hangat, telur rebus, dan diakhiri dengan coklat hangat. Entahlah, rasanya semua makanan yang kita makan di gunung maupun di alam akan terasa sangat nikmat, meskipun makanan itu sudah sering dimakan ketika berada di kota. Malam terasa cepat, kami memilih untuk lanjut beristirahat merebahkan tubuh dan berencana bangun sepagi mungkin keesokan harinya untuk melakukan summit menuju puncak Gunung Sumbing.
Summit Attack!
Alarm berdering pukul 03.00 dini hari, tandanya kami harus bergegas mempersiapkan diri menuju puncak Rajawali Gunung Sumbing 3.371 mdpl. Telur rebus yang sudah matang dan susu hangat menjadi sarapan sebelum memulai tracking. Lampu-lampu headlamp dinyalakan, terlihat di sekitar tenda kami juga mempersiapkan diri mereka menuju puncak. Gelap malam dan lebat hujan kami tembus disertai dengan dinginnya cuaca pada pagi itu. Beberapa kali kami berhenti untuk sekadar melihat cahaya cahaya lampu pedesaan dari ketinggian dan melihat gagahnya Gunung Sindoro di seberang.
Waktu subuh tiba dan kami memutuskan untuk melaksanakan salat di jalur pendakian. Cahaya sudah semakin terang tetapi matahari belum menunjukkan wujudnya karena ditutupi oleh awan. Hamparan bunga edelweis di jalur menuju puncak mulai tampak berjajar sangat banyak dan indah, di sini kamera digunakan untuk benar benar mengabadikan momen momen yang tidak akan pernah ditemui ketika berada di perkotaan.
Setelah berjalan cukup lama, di depan mata terlihat jalur tebing bebatuan dengan tali webbing panjang menunggu para pendaki. Satu persatu pendaki bergantian, giliran saya dengan perlahan dan hati hati berpegangan erat pada tali diiringi dengan langkah kaki memijak bebatuan licin yang rawan membuat orang terjatuh sehingga kerja sama antara otot tangan dan otot kaki harus dilakukan dengan baik. Track tersebut merupakan salah satu jalur tersulit dan paling berbahaya selama jalur pendakian Gunung Sumbing via Gajah Mungkur.
Puncak Rajawali: Indahnya Bayaran Atas Segala Usaha dan Doa
Selama perjalanan hanya terlintas satu tujuan yang ingin segera dicapai, hingga tidak terasa terlihat sebuah plang biru tertancap di tanah bertuliskan “Puncak Rajawali Gunung Sumbing 3.337 MDPL” yang dikerumuni oleh banyak pendaki, pertanda sudah sampai puncak tertinggi Gunung Sumbing. Rasa syukur terucap dalam hati dibarengi dengan selebrasi kecil menandakan sebuah pencapaian saya untuk bisa menggapai salah satu puncak tertinggi di Pulau Jawa. Beberapa bekal makanan ringan yang dibawa dari camp area kami berdua nikmati dengan pemandangan dari atas puncak yang mengagumkan. Di puncak tidak lupa untuk mengambil banyak foto yang dijadikan sebuah oleh oleh dan dijadikan kenang kenangan di masa depan untuk diceritakan.
Pada akhirnya salah satu impian untuk bisa mengagumi ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dapat terkabulkan setelah melalui sebuah proses dan usaha. Melalui mendaki, saya memahami, bahwa mendaki gunung tujuannya adalah supaya kita bisa melihat dunia terbentang luas, bukan sebaliknya, agar dunia melihat kita.
Editor: Yud
Gambar: Pribadi
Comments