Sudah masyhur diketahui bahwa semua manusia memiliki sifat baik dan buruknya masing-masing. Atau mungkin kita pernah membaca kalimat yang menyatakan bahwa “Tak ada manusia yang mutlak baik, juga tak ada manusia yang mutlak jahat”. Sebaik apapun seseorang, pasti ada keburukan padanya.

Begitu juga sebaliknya, sejahat apapun seseorang pasti masih ada kebaikan padanya. Bila memang demikian, yang jadi pertanyaan adalah bagaimana bisa ada orang yang (nampak) selalu berbuat baik? Apakah dia menghilangkan sifat jahatnya?

Mengubah Sifat Jahat

Beberapa dari kita mungkin pernah melihat transformasi seseorang dari jahat ke baik atau sebaliknya. Contohnya, seperti ‘Umar ibn Khattab. Beliau awalnya sangat memusuhi Nabi Saw. tetapi di kemudian hari beliau menjadi pelindung syiar Islam―pada waktu itu.

Di sisi lain ada Joker Qarun yang mulanya merupakan individu yang taat namun, kemudian berubah menjadi arogan dan durhaka. Bagaimana semua itu bisa terjadi? “Itu kan udah takdir!”. Ya, memang benar. Tapi, kalau kita yang mengalami hal tersebut, apakah kita juga akan menyatakan itu “takdir”?

Tidak, jangan! Bila kita menyatakan bahwa semua yang terjadi pada kita itu takdir, kita akan menjadi kaum fatalistik. Akibatnya, kita enggan untuk berusaha dan belajar melakukan perbaikan. Bukankah itu justru menyalahi kodrat kita sebagai manusia? Sebab, wahyu yang pertama diturunkan―kepada Rasulullah Saw―berisi perintah untuk membaca (belajar).

Kembali ke pembahasan awal, bagaimana bisa orang yang awalnya jahat berubah jadi baik? Apakah ia berhasil “menghilangkan” sifat jahatnya?

Dalam film Doctor Strange (2016), ada scene di mana The Ancient One mengucapkan kalimat yang cukup menarik. Kurang lebih begini, “Kita tak pernah kehilangan sifat jahat kita. Kita hanya belajar mengendalikannya”. Bila direnungkan ternyata ucapan tersebut ada benarnya.

Faktanya, setiap dari kita memiliki sifat jahat. Namun, dalam praktiknya di kehidupan berbeda-beda. Ada yang sifat jahatnya kebablasan hingga kemudian ia disebut penjahat. Ada juga yang beristirahat berbuat jahat, yang kemudian disebut individu yang bertobat. Setiap orang berbeda tergantung bagaimana ia mengontrolnya.

Terdapat Pilihan

Sebagai manusia, kita selalu memiliki pilihan. Hal tersebut juga berlaku pada apa yang diulas di sini, yakni pengendalian sifat jahat. Kita bisa saja memilih berteriak-teriak kala marah, tetapi kita juga punya pilihan untuk mengendalikan diri agar tenang. Kita punya pilihan untuk mencemarkan nama baik orang lain, namun kita juga bisa mengendalikan diri untuk tak menjatuhkan wibawanya.

Kita punya pilihan untuk menduakan ‘doi’, tetapi kita juga bisa menyadarkan diri bahwa doi juga punya hati yang tak bisa seenaknya disakiti. Kita selalu punya pilihan, pikiran dan hati kita tahu mana yang baik serta mana yang buruk.

Oleh karena itu, mari kita belajar mengendalikan sifat jahat yang melekat pada diri masing-masing. Bagi yang merasa pelit, belajar memberi. Bagi yang egois, belajar memahami hak orang lain. Bagi yang suka mencaci, belajar diam. Yang ingin mengikis separuh populasi dunia, belajar dari Thanos yang kalah oleh Avengers.

Tak perlu buru-buru, pelan-pelan pun tak apa. Berusaha setiap hari, belajar sepanjang waktu, meskipun sedikit. Bila kita konsisten melakukan pengendalian sifat jahat, kita akan terbiasa dan tak akan kesulitan lagi.

Sifat jahat memang bisa dikendalikan, tapi tidak dengan dampaknya. Ia adalah sesuatu yang berada di luar ranah kuasa kita. Justru sebaliknya, dampak dari sifat jahat kita bisa dihilangkan.

Cara menghilangkan dampak dari sifat jahat kita (terhadap orang lain) adalah dengan meminta maaf. Memang ada orang yang mudah memaafkan, tetapi bila orang yang kita jahati bukan tipikal demikian ya, kita mesti memohon maaf padanya. Jadi, kendalikan sifat jahat, hilangkan dampaknya agar kita tak menjadi manusia yang biadab.