Gadis kecil berdarah Palestina itu bernama Hayya. Tanahnya diserang oleh Israel sehingga ia menyelamatkan diri dengan ikut seorang relawan kemanusiaan bernama Rahmat. Ia ikut pulang ke Indonesia bersama relawan itu. Kisah Hayya begitu bergejolak ketika di Indonesia setelah bertemu sepasang keluarga muda yang terkena gangguan jiwa lantaran kehilangan anaknya seusia Hayya. Nama anaknya pun mirip: Hanna.
Alur kisah yang dibawakan oleh penulis skenario membuat penonton bertanya-tanya dan penasaran. Kisah cinta yang mewarnai juga sangat indah dan sarat akan makna. Terlebih ketika dikaitkan dengan konteks cinta terhadap Masjidil Aqsa. Penulis mengangkat isu kompleks dan global ke dalam kemasan yang sederhana, memikat, dan memahamkan.
Penulis lebih tertarik untuk menyoroti makna mendalam dan historis di balik film Hayya 2. Terdapat sebuah ide cerita yang sangat mengakar pada hubungan internasional. Film Hayya 2 mengilustrasikan serangan Israel ke Palestina dalam karya visual yang elegan sehingga para penonton yang awam akan konflik internasional sekalipun akan terhanyut dalam pesan itu. Nilai moral dalam film ini disampaikan dengan pesan-pesan universal seperti kesucian cinta, menyikapi musibah, pentingnya keluarga, dan arti kemanusiaan. Penulis ingin memaparkan nilai universal itu dalam beberapa poin.
Jangan Lunturi Cinta dengan Egoisme
Cinta adalah hal yang suci. Ujian cinta dalam film Hayya 2 diadegankan pada kisah keluarga muda, Faisal dan Lia yang kehilangan Hanna saat di pantai. Hanna sedang asyik bermain sendiri di tepi pantai dan lengah dari pantauan orang tuanya yang sedang bertengkar. Sang ayah masih terlihat sibuk dengan urusan kerja di tengah liburan. Lia menegurnya dan menilai bahwa suaminya egois telah memakan waktu untuk keluarga.
Pesan cinta dalam adegan itu sangat mendalam dan menyiratkan pesan bahwa egoisme tidak boleh hadir dalam hubungan cinta. Sesuai dengan pandangan filsuf terkemuka, Erich Fromm, bahwa dengan bercinta, maka seseorang melebur ke dalam sosok yang ia cinta. Tidak ada “aku” dalam hubungan, melainkan “kita”. Dirinya sudah musnah, menyisakan sosoknya yang dicinta. Dalam arti, dia sudah mengabaikan ego diri sendiri.
Dalam konteks Palestina, maka umat Islam seolah diingatkan oleh film ini bahwa kehilangan kemerdekaan Palestina tidak serta merta menyalahkan penjajah Israel semata tanpa menyalahkan kondisi internal. Umat Islam harus merefleksikan diri. Sudah murnikah cintanya terhadap agama atau masih mengedepankan ego ormas dan kepentingan sehingga lalai dari musuh yang super besar?
Jadilah Pengemban Amanah yang Baik
Tuhan menitipkan semua fasilitas kepada umat manusia di muka bumi. Baik kesehatan diri maupun alam raya dengan segala kekayaan flora dan faunanya. Kita harus sadar bahwa kita adalah “orang yang dititipi”. Dan sebaik-baik orang yang dititipi, adalah menjaga dan merawatnya sepenuh tanggung jawab.
Pesan ini diadegankan dalam segmen ketika Ustadzah Oki Setiana Dewi memberikan ceramah di sebuah pengajian yang secara tidak langsung sangat terkait dengan kondisi Lia yang kehilangan anaknya. Ustadzah Oki mengingatkan bahwa semua yang kita miliki adalah titipan Allah. Ketika Dzat yang menitipkan itu mengambilnya suatu saat, maka kita harus berusaha mengikhlaskannya.
Dalam konteks Palestina, maka adegan ini mengingatkan kita pada Masjid Mulia yang Allah amanahkan kepada umat manusia dari berbagai zaman, yaitu Masjidil Aqsa. Keberkahan dan kesakralan masjid itu adalah harga mutlak yang tidak diperdebatkan. Umat Muslim harus menjaga “titipan” Allah itu dengan baik. Jangan lengah dengan kondisi internal yang mengacaukan sehingga tidak sadar bahwa dirinya sedang di hadapan musuh.
Resapi dan Sadari Bahwa Musibah itu dari Allah
Lia sungguh kehilangan dengan tenggelamnya Hanna ketika berliburan sampai ia mengalami gangguan kejiwaan. Ia terus berhalusinasi seolah anaknya masih hidup. Faisal kepayahan untuk mengobati kejiwaan istrinya. Akhirnya Lia dalam halusinasinya menganggap Hayya sebagai anaknya yang ia temukan ketika Lia sedang memetik stroberi.
Lia begitu sangat tertekan dengan keadaannya sehingga berkonsultasi dengan Ustadzah Oki. Ia dinasehati untuk bersabar atas segala musibah, karena yakin bahwa Allah tidak akan menimpakan musibah di luar batas kemampuan manusia.
Kondisi Lia merepresentasikan kondisi umat Islam saat ini yang kehilangan kemerdekaan tanah Palestina. Tanah yang bersejarah dan berdiri kokoh di atas sebuah bangsa yang berperadaban itu sangat wajar jika dirampas dan dituduh sebagai tanah kosong. Nasihat ustadzah Oki adalah nasihat untuk umat Islam bahwasanya musibah saudara kita di Palestina adalah musibah (yang meskipun besar), kita harus yakin bahwa kita bisa memperjuangkannya kembali. Kita harus yakin bahwa musibah datangnya dari Allah, maka harus dibarengi dengan keyakinan bahwa Allah pula yang akan membantu kita untuk keluar dari permasalahan ini.
Jangan Terlena dengan Masa Lalu dan Terimalah Kenyataan Masa Sekarang
Kisah bahagia keluarga muda Faisal, Lia, dan Hanna adalah kisah mengesankan. Keluarga muda dengan anak pertamanya merupakan pengalaman yang indah karena kehadiran buah hati itu menjadi perekat cinta antara suami dan istri.
Seindah apapun masa itu, Lia harus menerima dengan sebuah kenyataan bahwa Hanna sudah meninggal karena kelalaian mereka ketika mengasuh anak. Permasalahannya bukan pada kurangnya cinta mereka, melainkan egoisme yang ada dalam pengasuhan anak yang dianalogikan dengan sibuknya mengurus pekerjaan di tengah waktu keluarga. Lia masih tidak terima dengan kenyataan pahit itu hingga mengalami gangguan jiwa dan terus berhalusinasi dengan manisnya masa lalu.
Jika kita kontekstualisasikan dengan konflik Israel-Palestina, maka kondisi kejiwaan Lia adalah sama dengan ambisi Zionis Israel yang berhalusinasi dengan kejayaan sejarah bahwa bangsa Yahudi diistimewakan dengan hak wilayah Baitul Maqdis itu. Namun hal itu tidak bertahan lama karena mereka egois, bahkan menantang nabi Musa hingga diusir dari tanah suci itu. Tanah itu sudah tidak berhak lagi bagi umat yang mengingkari para Nabi Allah.
Dampak yang terjadi karena halusinasi itu sangat brutal dan fatal seperti kekejaman Israel yang kita saksikan saat ini. Jiwa kemanusiaan sudah terbungkus oleh halusinasi sehingga kekejamannya sangat di luar batas kemanusiaan.
Dari beberapa nilai universal yang saya uraikan, maka dapat ditarik benang merah bahwasanya hanya cukup mengatasnamakan “KEMANUSIAAN” untuk membela Palestina. Asal usul dan motif serangan Israel telah disampaikan secara halus melalui film ini. Kekejaman yang kita saksikan adalah hasil dari halusinasi yang tidak manusiawi. Film Hayya 2 ini memanggil jiwa kemanusiaan kita untuk ikut serta dalam memerdekakan hak Palestina sekaligus mengajak umat Muslim untuk berintrospeksi. Karena pada teorinya, tidak ada kezaliman tanpa disertai adanya kebungkaman orang-orang yang bijak dan jujur.
Gambar: Banten Raya
Editor: Saa
Comments