Pemberian adalah salah sesuatu yang diberikan kepada seseorang, baik itu harta, ilmu, barang, jasa maupun tenaga. Pemberian juga bisa diartikan sesuatu yang didapat dari orang lain (karena diberi). Dalam Islam pemberian juga bisa diartikan sebagai hibah. Lalu apa hubungannya dengan stang sepeda?

Ketahuilah, bahwasannya keluarnya harta dengan derma (pemberian) bisa berupa hibah, hadiah, sedekah . Jika tujuannya adalah untuk mendapatkan pahala akhirat, maka dinamakan sedekah. Jika dimaksudkan untuk kasih sayang dan mempererat hubungan, maka dinamakan hadiah. Sedangkan jika dimaksudkan agar orang yang diberi dapat memanfaatkannya maka dinamakan hibah.

Maka apabila kita diberi pemberian dari orang lain maka kita harus memanfaatkan pemberian tersebut dan agar orang yang memberi pemberian tersebut merasa senang karena pemberian darinya diterima. Jika kita diberi barang baik itu baju ataupun celana ataupun yang lainnya maka pakailah pakaian tersebut dengan sepenuh hati.

Karena orang yang memberikan barang tersebut akan merasa senang dan gembira karena barang yang diberikannya diterima dengan baik. Dan apabila di beri makanan oleh orang lain maka kita harus menerima dan memakan makanan tersebut yang telah diberikan oleh si pemberi tersebut.

Stang Sepeda

Seperti pemberian stang sepeda, pada saat hari pertama kali belajar sepeda, stang  adalah benda yang sangat liar dan susah dikendalikan. Geraknya yang tak terkendali, gampang berbelok ke kiri dan ke kanan, membuat sepeda menjadi sesuatu yang sangat liar dan berbahaya.

Namun, stang sepeda yang menjadi “pengarah” hendak ke mana sepeda dilajukan, lurus ke depan atau ke kanan dan ke kiri. Laju bisa berharga dan bermakna bila diarahkan pada tujuan tertentu, dan pengarahanya adalah stang sepeda itu.

Pada saat menaiki sepeda, kita adalah pengendali bila sanggup mengendalikan stang.

Kita akan tersungkur ke jalur yang salah ketika stang mengarah ke arah yang salah. Sebaliknya, kita dapat menuju arah yang benar bila stang mengarah ke sana. Pada stang ini kita dapat filosofi, tak cukup jalan yang benar untuk sampai pada kebahagiaan, namun dibutuhkan juga “pengarahan” agar laju hidup tetap berada di jalan yang benar itu.

Pada stang terdapat rem, bel, dan lampu. Pada stang ada kendali untuk melaju kencang dan berhenti pada saat yang tepat (rem). Ada juga kendali untuk memberi peringatan bagi yang lain mengenai keberadaan diri kita yang sedang melaju (bel). Ada pula kendali untuk menerangi jalanan yang gelap dan tak terlihat (lampu).

Pengendalian Diri

Rem adalah kendali yang sering dilupakan. Kegagalan, menurut para ahli, di sebabkan ketidakmampuan kita menentukan kapan saat melaju, kapan saatnya berhenti. Rem itu ada dalam kendali kita, bergantung pada kita kapan saatnya melaju kencang atau berhenti. Dengan pendalian tersebut kita juga harus kendalikan diri kita dengan hati yang penuh dengan kesabaran.

Bel adalah kendali identifikasi diri di hadapan orang lain. Di tengah jalan kita menemui paling tidak dua jenis orang, yang tahu keberadaan kita, namun tak menyadari ( tidak mengakui) kita, bahkan bisa menghalangi laju perjalanan. Kepada keduanya perlu di tegaskan eksistensi kita, bel adalah alatnya.

Eksistensi kita bergantung pada kemauan kita untuk mengendalikan kapan kita mengenalkan diri untuk memberi tahu, kapan kita mengenalkan diri agar orang lain menyingkir dari jalur yang menghambat cita-cita. Bel adalah pemberi tahu akan kehadiran kita sekaligus ancaman bagi mereka yang lupa (menghalangi) keberadaan laju cita-cita.

Lampu digunakan pada malam hari, pada saat gelap membuat arah juga menjadi tidak ada atau buram. Cita-cita adalah tujuan di depan sana, mungkin sebuah titik atau suatu tempat yang kita idamkan, namun semua itu butuh cahaya. Bila cahaya kehidupan (matahari) tidak dapat menerangi cita-cita itu, kita membutuhkan cahaya yang kita upayakan sendiri, berasal dari diri kita sendiri.

Lampu sepeda adalah contoh yang tepat untuk cahaya hasil usaha sendiri. Lampu sepeda tidak menggunakan baterai, tidak juga aku. Lampu akan menyala ketika dinamonya diletakkan dengan ban depan sepeda, kemudian dinamo berputar mengikuti gerak putar sepeda.

Tentu saja ada beban yang semakin memberat, lalu ban akan sedikit terhambat demi menghasilkan cahaya penerang jalan. Namun begitulah kehidupan, pada saat menghadapi masalah “ketidakjelasan” arah, kecepatan harus dikurangi agar kita bisa menghasilkan cahaya penerang dan mawas diri.

Pada lampu jalan kita belajar mengenai kearifan untuk menerangi kehidupan dari hasil upaya sendiri. Tak ada hak kita untuk menyalahkan kehidupan ketika dia menunjukan ketidakjelasan. Tugas kita adalah membuat hidup mendukung tujuan kita dengan upaya sendiri.

***

Stang sepeda memiliki banyak makna di dalamnya dan banyak pembelajaran dari hal tersebut. Stang sepeda yang kian disepelekan akan tetapi di dalamnya menuai suatu makna buat kehidupan kita, tetaplah menjadi stang sepeda seutuhnya.

Tetaplah kendalikan sepedanya untuk mencapai tujuan yang di inginkan dan tetaplah kendalikan diri kita dengan pengendalian diri dengan berserah diri kepada Allah.

Editor: Nabhan