Warga maya Indonesia yang melek informasi pasti tahu siapa itu Pak Edy Mulyadi. Kalaupun tidak mengenal wajah dan latar belakang politisnya, minimal tahu pernyataannya yang sedang menuai kontroversi karena dianggap mengandung ujaran kebencian. Iya, pernyataan tentang pemilihan lokasi Ibu Kota Negara yang baru yang dia bilang sebagai tempat jin buang anak, proyek yang hanya menguntungkan China, dan bla bla bla. Sungguh mengherankan bahwa di tahun 2022 Indonesia masih punya stok warga semacam itu.

Tentu saja pernyataan tersebut menyinggung pemerintah. Ibarat kita udah kerja keras cari uang untuk merencanakan bikin rumah, eh giliran mau eksekusi malah dipaido tetangga. Lebih-lebih lagi, ujaran tersebut pasti melukai perasaan warga suku Dayak sebagai penduduk lokal pulau Kalimantan. Siapa yang ndak tersinggung coba, kalau rumah kita dibilang sebagai tempat jin buang anak? Atau jangan-jangan Pak Edy memang sedang memposisikan diri sebagai petugas sensus jin.

Berbagai reaksi pun mengemuka. Mulai dari yang sekedar mengecam hingga yang mengancam menggunakan kearifan lokal berupa mandau terbang. Perlu dicatat bahwa Pak Edy Mulyadi bukanlah orang pertama yang tersandung masalah hukum terkait ujaran kebencian. Kalimantan juga bukan daerah satu-satunya yang pernah dilecehkan dengan ujaran kebencian. Sebelumnya telah lusinan tokoh publik, entah pejaba,t ataupun pemuka agama yang terjerat masalah serupa.

Saya jadi ingin menarik hipotesis elek-elekan dari kasus ini. Pertama, ujaran kebencian sudah menjadi hobi bagi beberapa tokoh publik. Yang namanya hobi, sebut saja semacam hobi judi, ya memang sulit dihilangkan. Makanya butuh aturan hukum yang jelas untuk memagari hobi tersebut agar tidak menyakiti liyan. Kedua, proses hukum yang ada di Indonesia belum mampu membuat para penghobi tersebut jera melakukan ujaran kebencian bernuansa SARA. Padahal ujaran kebencian tersebut bisa memicu konflik horizontal. Dan konflik horizontal selalu memakan social cost yang teramat mahal. 

Beruntung dalam perkembangan terbaru, warga Kalimantan melalui Aliansi Borneo Bersatu tampaknya telah berbesar hati memaafkan Pak Edy Mulyadi. Hal ini seperti diungkapkan juru bicaranya, Rahmad Nasution Hamka di gedung DPR tanggal 27 Januari kemarin: “Secara kemanusiaan sudah dimaafkan, tapi secara moral dan adat serta hukum negara harus tetap dilanjutkan prosesnya.” Sebuah pernyataan yang mencerminkan sikap terbaik dalam berbangsa dan bernegara. Sikap pemaaf dan toleran yang hanya mungkin tumbuh dari kedewasaan nalar. 

Kembali ke hipotesa asal-asalan tentang proses hukum tadi, saya jadi ingin berandai-andai. Andai saya seorang warga suku Dayak, saya akan mendukung sikap Aliansi Borneo Bersatu dengan sepenuh hati. Dengan sikap tersebut seluruh Indonesia akan mafhum bahwa Dayak adalah suku yang arif. Pejabatnya saja yang kadang tidak cukup bijaksana. Adapun catatan bahwa proses hukum harus dilanjutkan, menunjukkan bahwa warga Dayak mengharapkan penerapan hukum yang setara bagi setiap warga negara.

Jika saya warga Dayak Kalimantan, ada satu hal lagi yang ingin saya usulkan melalui Aliansi Borneo Bersatu. Saya ingin proses hukum negara bisa memberi sanksi tambahan untuk Pak Edy Mulyadi, pun juga figur publik lain yang mengeluarkan ujaran kebencian bernada SARA. Karena kesalahan yang dilakukan berkenaan dengan sosial kemasyarakatan, maka tambahan sanksinya juga berupa sanksi sosial.

Bentuk sanksi tambahan yang saya usulkan tidak terlalu rumit untuk diterapkan kok. Tidak seperti di negara-negara Eropa yang mewajibkan pelanggar hukum untuk kerja sosial sekian ratus jam, tidak. Kasihan kalau beliau mesti diberi beban kerja sosial, wong kerjaannya sendiri saja belum tentu beres kok. Sederhana saja, sanksi tambahan yang saya usulkan adalah larangan menyuarakan pendapat melalui media sosial maupun press release dalam kurun waktu tertentu. Bisa satu, dua atau tiga tahun, tergantung derajat kesalahannya.

Bagi beliau-beliau yang tidak terhormat, para pengujar kebencian tersebut, waktu yang biasanya dipakai main medsos bisa digunakan untuk melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat. Misalnya untuk belajar lagi. Belajar apa saja lah, terutama tentang dasar-dasar logika dan wawasan kebangsaan. Yah supaya kelak bisa membuat pernyataan yang lebih logis dan cerdas. 

Saya kira bentuk sanksi tambahan semacam itu akan sangat manjur untuk mengurangi kegaduhan di media massa. Dengan begitu tentu bisa mengurangi potensi konflik horizontal. Dan bagi mereka para public figure tersebut, adakah yang lebih menyiksa daripada larangan bersuara?

Foto: Pexels

Editor: Saa