Beberapa waktu lalu saya sempat bertengkar dengan pasangan saya, walaupun sedang menjalani hubungan jarak jauh, pertengkaran itu tidak bisa dilewatkan. Pertengkaran ini akibat nilai kuliah saya semester lalu tiba-tiba terjun bebas. Dari sini, saya belajar untuk berani bilang tidak.
Berani Bilang Tidak
Pertengkaran ini terjadi di platform WhatsApp, ia sungguh marah karena saya dianggap tidak maksimal saat perkuliahan berlangsung. Ia mengatakan saya terlalu sibuk dengan berbagai urusan organisasi dan urusan lainnya.
Karena ia mengatakan hal di atas maka emosi saya pun tersulut sehingga terjadi perdebatan di aplikasi WhatsApp. Saya berusaha menjelaskan bahwa nilai yang terjun bebas bukanlah akibat dari kesibukan saya di organisasi ataupun lainnya.
Namun, pada akhirnya ia mengatakan, “Kak, semester depan jangan terlalu sibuk, biasakan untuk berani bilang tidak”. Ya ucapan itu membuat saya terdiam dan akhirnya merasa “kalah” dengan pertengkaran ala sinetron tersebut.
Kekalahan saya dalam pertengkaran tersebut saya terima dengan baik, karena memang perkataan pasangan saya sangat benar. Saya mengakui dalam beberapa kesempatan saya selalu mengucapkan “iya, saya bisa” ketika orang lain meminta tolong.
Bagi saya yang memiliki perasaan “tidak enak” jika menolak permintaan tolong orang lain memang agak sulit untuk mengucapkan tidak. Apalagi saya mengenal baik orang-orang yang minta tolong kepada saya.
Jangan Iya-iya Terus
Sebetulnya saya ingin sekali berkata “tidak” seperti iklan salah satu partai di era 2008-2011, mereka dengan sangat mudahnya mengucapkan kata itu. Jangan iya-iya terus, deh, intinya. Tapi entah kenapa bagi saya sangat berat untuk mengucapkan kata penolakan tersebut.
Setelah pertengkaran itu terjadi, saya menjadi ingin mencoba untuk bilang “tidak”. Saya pun merenungkan apa saja yang terjadi ketika saya mengucapkan “iya” dan berujung pada terjun bebasnya IPK saya pada semester ini.
Akhirnya, saya mengingat banyak hal yang menyebabkan proses kuliah saya menjadi terburu-buru akibat “kesibukan” yang disebut oleh pasangan saya. Ternyata cukup banyak kesalahan saya pada semester ini.
Contohnya, saya sering diminta tolong untuk melakukan sesuatu, dan akhirnya saya kerjakan serta diselesaikan dengan secepat mungkin. Namun setelah selesai, masih saja ada beberapa yang harus direvisi sehingga saya sempat meninggalkan kewajiban saya.
Di sisi lain, saat saya mengerjakan revisi, ada lagi orang lain yang meminta tolong untuk membuatkan semacam tulisan, lalu seperti biasa saya mengucapkan “iya” padahal saya sedang mengerjakan revisi yang lain.
Memberanikan Diri
Pada akhirnya, saya dikejar-kejar tenggat waktu keduanya. Hal pertama yang saya kerjakan belum selesai karena banyak revisi, selanjutnya harus mengerjakan tulisan yang diminta sehingga saya pun lupa dengan beberapa kewajiban saya seperti menulis untuk di media online dan juga tugas lainnya.
Lalu pertanyaannya, apakah saya dibayar? Tentu tidak. Saya mengerjakan semuanya gratis, namun terkadang ada saja orang yang tidak tahu diri yang meminta tolong sudah gratis pula dan banyak maunya.
Dari perenungan tersebut, akhirnya saya sadar bahwa perkataan pasangan saya sangat benar. Sehingga, sejak saat itu saya bertekad untuk memberanikan diri berkata “tidak” atau menolak permohonan minta tolong jika saya tidak bisa.
Saya menanamkan dalam diri saya agar membuat prioritas terlebih dahulu yaitu keluarga dan pasangan, lalu tempat saya bekerja dan dibayar, dunia perkuliahan, dan baru orang lain yang meminta tolong walaupun itu senior atau teman dekat.
Awalnya memang berat memberanikan diri untuk berkata tidak, tapi perlahan saya bisa mengatur semua jadwal dan kewajiban saya dengan rapi. Mulai dari mengerjakan desain untuk kafe tempat saya bekerja, lanjut ke kewajiban belajar, kewajiban menulis, dan kewajiban lainnya.
Dalam perjalanan saya untuk memberanikan diri berkata tidak, banyak risiko yang saya dapati. Mulai dari ketidakpercayaan teman saya, hingga pertengkaran kecil dengan pejuang di organisasi yang sama. Tapi bagi saya itu adalah risiko agar kita bisa konsisten untuk bilang tidak.
Lebih Tenang Setelah Berani Bilang Tidak
Setelah beberapa bulan saya konsisten untuk berani bilang “tidak”, ternyata saya lebih tenang menjalani kehidupan. Saya tidak seperti dikejar oleh penagih hutang, juga tidak lagi bingung untuk mengatur jadwal kegiatan saya.
Keberanian saya untuk bilang “tidak” akhirnya bisa terealisasi. Saya seperti ini bukan bersikap sombong atau memang berubah, tetapi saya sedang berusaha memperbaiki diri saya agar menjadi lebih baik.
Saya memiliki beberapa kewajiban yang harus saya kerjakan, namun saya juga memiliki hak untuk beristirahat dan tidak diganggu dengan pekerjaan yang di luar tugas dan tanggung jawab saya sebagai apapun.
Nah buat kamu yang sering iya-iya aja, apakah mau ikutan untuk berani bilang tidak?
Editor: Halimah
Gambar: Freepik
Comments