Beberapa bulan yang lalu, istri saya mendapatkan hadiah dari seorang anak di tempatnya bekerja. Hadiah itu berupa eco bag, semacam tas belanja yang ramah lingkungan karena terbuat dari kain. Anak itu habis piknik dari Jepang bersama kedua orang tuanya. Setelah istri memberi tahu, kami bersepakat setiap kali beli-beli atau belanja harus membawanya sebagai pengganti kantong plastik. Tapi, kesepakatan itu tidak semudah mulut Bu Tejo yang nggibahi si Dian.

Kresek diakui atau tidak memang lebih praktis dari apa pun. Kita nggak harus repot-repot bawa tas belanja dari rumah. Toh dari penjual juga dikasih secara cuma-cuma, hanya beberapa saja (khususnya pusat perbelanjaan) yang mengenakan tarif kepada pembeli. Selain itu, beberapa brand makanan atau barang memiliki desain kemasan plastik tersendiri sebagai media promosi yang sayang untuk dilewatkan bagi pembeli yang tidak sekadar mengonsumsinya sebagai produk tapi sekaligus prestisenya.

Selain alasan mendasar dan turunan tersebut, hijrah dari kantong kresek ke eco bag tak semudah seperti berkedip. Bahkan dalam tahap tertentu barangkali sama sulitnya dengan menangkap beberapa buron kasus korupsi. Berikut adalah beberapa pengalaman kami dalam proses hijrah itu.

Plastik lagi, plastik lagi….

Penyakit dan mungkin sekaligus anugerah pertama yang sering dialami adalah lupa. Maklum, manusia tempat salah dan lupa. Sudah terlampau sering kami baru ingat tas tidak dibawa ketika di tengah jalan. Mau balik buat ngambil juga malas, padahal masih dekat. Tas belanja juga sering tidak terbawa ketika bepergian tanpa niat belanja tapi di tengah jalan atau mau pulang tiba-tiba pengen beli sesuatu.

Lupa yang lebih parah adalah ketika tas sudah dibawa tapi nggak tahu kalau terbawa sehingga selesai belanja baru sadar dan hanya bisa berkata, “Lah, ini kita bawa. Nimbun plastik lagi dong.”

Lupa yang lain kadang dikarenakan penjual/kasir tidak bertanya kepada kami apakah mau pakai kantong plastik atau bawa tas sendiri. Suatu ketika pernah nih belanja di sebuah warung. Walaupun kami agak telat menyodorkan tas kepadanya, Ibu tersebut tetap memasukkan barang belanjaan kami ke dalam plastik sambil bilang, “Yaudah, ini terlanjur.” Golongan semacam ini bisa cukup mudah ditemui ketika beli buah-buahan, bubur kacang ijo, jajan pasar, pecel lele dan seterusnya. Kecuali kalau penjual sudah hafal kami karena sering beli di situ misalnya, secara otomatis ia akan menanyakan setiap kali selesai belanja.

Sudah begitu yang lebih parah lagi, saat dapat plastik seringkali merasa sayang untuk dibuang karena beberapa masih bagus dan bersih. Alhasil, satu bagian tertentu di sudut dapur akan berjejal plastik.

Hampir mustahil hidup tanpa kantong plastik

Pakai kantong plastik atau tidak kadang tergantung seberapa banyak barang yang dibeli. Tas milik kami hanya berukuran sedang sehingga untuk jajan yang kecil-kecil seperti cilok, batagor, sempol dan sekeluarganya itu jadi berasa nanggung. Lebih dilematis lagi ketika barang yang dibeli dalam jumlah cukup banyak sehingga perlu tas yang lebih besar atau menambahnya. Saat seperti ini, kepraktisan menerima tawaran menggunakan kresek besar membayang di depan mata. Dan kami sungguh lemah di hadapan itu.

Yang menjadi kejutan adalah ketika saudara, tetangga, atau teman tiba-tiba datang ke rumah membawa makanan yang dibungkus plastik. Kami pertama tak mungkin menolak makanan tersebut dan kedua segan meminta membawa kembali plastiknya. Saya dan istri hanya bisa mengucapkan terima kasih dan dalam hati berharap sering-sering saja dibawakan makanan (tanpa plastiknya).

Kesepakatan kami soal hijrah dari kresek ke eco bag akan berjalan lancar apabila seluruh plastik di muka bumi ini dimusnahkan. Tapi, itu semacam utopia. Tampaknya yang terpenting, selain peraturan pemerintah tentang pembatasan pemakaian plastik kepada swalayan, pusat perbelanjaan dan pasar rakyat, sebagai individu hanya bisa perlahan mengurangi, tidak bisa sekejap lepas sepenuhnya. Jika tidak, perkataan dosen saya akan dan memang benar adanya.

Waktu itu, bersama teman-teman sedang main ke sebuah objek wisata candi. Kami ngobrol santuy duduk sambil memandangi betapa megah candi itu. Seorang kawan tiba-tiba nyeletuk bertanya kepada Pak Dosen, “Pak, orang zaman dulu membuat dan mewariskan candi itu kepada kita. Kira-kira generasi kami ini bisa mewarisikan apa ya kepada anak cucu?” Lalu, Pak Dosen berkata, “Kalian sudah punya warisan.” Ketika kami bertanya dengan sedikit heran dan kaget apa warisan itu, Pak Dosen kembali menjawab; plastik!