Jago main PES kadang membawa derita.

Kita percaya bahwa di atas langit masih ada langit. Tapi, pernahkah Anda menjadi langit tertinggi, setidaknya di lingkup pertemanan kalian? Ya, ini yang saya rasakan dalam urusan bermain gim Pro Evolution Soccer (PES) di kalangan teman-teman terdekat saya sendiri. Dengan congkak saya katakan, saya adalah rajanya, juara bertahan di liga minggu ini, dan berhasil back to back juara dalam beberapa liga terakhir. Heuheu.

Tapi sebelum secongkak dan jago main PES seperti sekarang, jujur saja, saya dulunya adalah pecundang rentalan. Di mana pun, dari lingkar pertemanan kampung,  sekolah, hingga kampus, saya adalah pecundang.  Alih-alih mengharapkan juara ataupun menang, saya tak terbantai lebih dari lima gol, saja, sudah bersyukur.

Tapi bermain PES itu bukan semata karena bakat, namun skill yang mesti dilatih sesering mungkin. Itu yang dulu saya lakukan, bermain sesering mungkin. Hingga akhirnya, dari seorang pecundang, kini di beberapa lingkar pertemanan, saya malah dianggap “master”. Menyenangkan, kelihatannya. Padahal tidak sama sekali.

Bagi saya, fase paling mengasyikan bermain gim PES adalah fase-fase saat saya menjadi pecundang. Fase yang saya lewati bertahun-tahun, dari generasi PS 2 hingga PS 3 (memang mentok sampai PS 3). Alasan utama mengapa menjadi pecundang itu menyenangkan adalah “motivasi untuk menang”.

Ya, ketika saya terus-terusan menjadi pecundang, saya akan mencari seribu satu cara untuk mengalahkan semua orang, dengan cara apapun. Saya sering menonton tutorial di YouTube, bergonta-ganti formasi, mengiyakan semua ajakan bertanding PES dari semua orang, hingga diam-diam pergi ke rentalan sendiri.  Semua dilakukan hanya untuk menang!

Motivasi yang selalu membuat jantung berdegup kencang, ketika saya melepaskan alas kaki untuk memasuki lantai rentalan. Dan selalu ada kegembiraan yang luar biasa dari hari ke hari, ketika orang yang sering membantai saya lebih dari lima gol, perlahan bisa saya imbangi, dan perlahan bisa saya pecundangi balik.

Hingga tibalah waktu di mana saya mulai terbiasa merasakan manisnya kemenangan, sekali, dua kali, dan berkali-kali. Lantas perlahan malah meninggalkan teman-teman saya. Di titik seperti ini, jujur, hanya kebosanan yang saya rasakan.

Jika menjadi pecundang saya saya mencari seribu satu cara untuk menang, di titik “dianggap jago main PES” saya malah mencari seribu satu cara untuk menolak ajakan bertanding teman-teman. Karena saya tahu, dengan merem saja, saya masih bisa menang. Heuheu. Saya malah berharap, mereka bertanding seribu kali lebih banyak dari saya supaya jago, lantas mengembalikan lagi selera saya untuk bermain PES.

Saya pikir banyak orang yang merasakan demikian, dengan setengah hati mengiyakan ajakan bermain kolektif, lantas berpura-pura bermain dengan serius, atau kadang menahan untuk  tidak mencetak gol, untuk sekadar menjaga perasaan lawan tanding yang notabene teman sendiri.

Pun dulu ketika di titik menjadi pecundang, saya sering merasakan hal seperti itu. Menaruh seribu satu curiga, ketika lawan yang saya pikir sangat kuat, bisa saya imbangi. “Nggak serius mainnya” curiga saya kala itu. Dan memang benar, di titik “dianggap jago”, kadang saya bermain setengah hati.

Sebenarnya ada beberapa cara untuk meningkatkan kembali bermain PES kolektif, misalnya dengan mendaftar ke turnamen-turnamen PES di rentalan sekitar, untuk mencari lawan-lawan yang lebih kuat lainnya. Sayangnya, saya tak seniat itu, saya menjadikan PES lebih ke ajang silahturahmi. Cukuplah menjadi “master mikro” di pertemanan sendiri.

Oh iya, saya baru ingat, entah ada hukum alam atau hanya kebetulan saja, biasanya saya akan sering kalah sehabis menyombongkan diri. Nggak apa-apa ding, karena menang itu membosankan! Heuheu.

Editor : Hiz