Dear tetangga: jodoh itu urusan Tuhan, bukan urusanmu!

Rasanya, saya ingin mengirim memo itu untuk semua tetangga di seantero nusantara. Hasrat ini muncul begitu saja karena kebiasaan mereka yang saban hari menunjukkan semangat 45-nya dalam urusan jodoh. Saya masih bisa maklum jika mereka hanya sekali dua kali mempertanyakan perihal jodoh yang belum juga menampakkan batang hidungnya pada perempuan yang usianya menjelang seperempat abad. Masalahnya, mereka juga turut repot ikut memikirkan keputusan hidup lainnya dan berusaha mengaitkannya dengan jodoh.

Siapa yang mencari, siapa yang repot soal jodoh

Gini ya. Pertama, nggak semua hal serta merta berurusan dengan jodoh. Kedua, kalaupun yang para tetangga ini ‘usulkan’ memang ada hubungan erat dengan jodoh, biarkan itu sebagai konsumsi pribadi. Ketiga, lha kok kiyeng banget gitu lho ngasih alarm yang sebenarnya nggak penting-penting amat. Temasuk yang dialami teman saya baru-baru ini.

Beberapa waktu lalu, teman saya yang sudah membantu menjalankan usaha orang tuanya sejak sekolah mendadak mengutarakan keingininannya merintis usaha sendiri. Saya turut senang mendengarnya. Tapi ternyata impian itu terganjal nyinyiran tetangga. Rasa senang saya tadi sedikit tertahan dan berganti heran. Kurang kerjaan banget apa ya tetangga teman saya ini?

Sejak kesehatan orang tuanya memburuk, dan ndilalah dibarengi dengan status kelulusannya sebagai mahasiwa, ia hanya fokus mengurus bisnis keluarga. Dia pun tampak pontang-panting lebih sibuk dari sebelumnya. Nah, keadaan ini yang membikin tetangganya nggak bisa nahan berkomentar. Katanya, “Cah wadon ki tambah ketok hebat, tambah angel nemu jodohe”. Perempuan semakin kelihatan kehebatannya maka semakin susah menemukan jodohnya.

Hayuk mbak, tetangga yang baik hatinya setengah mati, mari ngeteh dulu. Ah, tapi kayaknya es cendol lebih pas deh. Biar hati saya adem, dan pikiran mbak juga lebih jernih. Kapan nih bisa ngobrol satu meja bareng alias hayuk lah mbak nggak perlu sembarangan bikin fatwa segala. Huaaaaa…

Saya nggak tau pemikiran yang seperti itu datangnya dari mana. Usut punya usut, hal inilah yang membikin teman saya maju mundur merintis usaha. Dia khawatir dengan perspektif orang lain akan dirinya, terlebih jika fatwa yang tadi itu benar adanya. Nggak menyalahkan juga kalau dia merasa khawatir, wong fatwanya digaungkan tiada kenal waktu. Pun, lingkungannya memang masih menganut tradisi pernikahan yang ketat.

Kalau saya boleh ikut berkomentar (ya harusnya memang boleh dong, biar kepala teman saya nggak didominasi fatwa tetangganya tok), statement mengenai prestasi perempuan yang berimbas pada kesulitan menemukan jodoh nggak begitu memiliki korelasi. Apa perempuan harus menjadi ‘biasa saja’ biar cepat dapat jodohnya, gitu? Hadehh.

Kualitas perempuan menjadi cara seleksi yang ampuh

Kehebatan perempuan, menurut saya justru menjadi salah satu cara menyeleksi jodoh secara nggak sadar. (Bentar, ini soal jodoh yang kudu diseleksi jangan-jangan jadi masalah lagi? Anggap sepakat aja ya.) Nah, dengan makin terlihatnya pesona kehebatan tersebut, lelaki yang akan mendekat justru mulai menyesuaikan diri. Apakah dia cocok bersanding dengan perempuan hebat dan berprestasi? Apakah dia layak dan bisa berjalan beriringan dengan perempuan luar biasa?

Jadi alih-alih susah menemukan jodoh, kehebatan perempuan justru menjadi tolok ukur kualitas lelaki yang akan mendekatinya. Mereka yang bertahan adalah lelaki yang memiliki kualitas yang sama denganmu. Nggak cuma dari segi finansial, bisa jadi dalam pola pikir dan hal lainnya.

Pemikiran yang patriarkial inilah yang membikin langkah perempuan tersendat. Kemajuan teknologi, kebebasan berekspresi, dan pendidikan yang tinggi menjadi percuma jika nilai yang dipegang masih sangat kolot. Sudah bukan saatnya lagi perempuan terkungkung di bawah kuasa lelaki.

Trus yang bilang prestasi berdampak pada kesulitan menemukan jodoh itu titik temu di mana gitu lho? Kalau memang percaya hal itu, katanya Tuhan sudah menciptakan makhluk-Nya berpasangan?

Lagian kok khawatir banget susah jodoh. Nggak menikah pun bukan masalah jika memang menikah hanya menghantarkan pada hidup yang lebih menderita. Kebahagiaan itu kan nggak cuma dari pernikahan. Kalau bahagiamu menikah, ya menikahlah dengan kesiapan yang matang. Tapi kalau memang nggak berniat menikah, tentukan bahagiamu sendiri. Tetap jadi perempuan hebat, cantik!

Editor: Nawa

Gambar: Lifestyle okezone.com