Gita Savitri, seorang selebgram cantik dan berpemikiran kritis melemparkan pernyataan yang berisi keinginannya untuk memutuskan Childfree (tidak memiliki anak). Isu ini gencar berhasil memancing sekaligus membuka mata penikmat per-medos-an lalu tumbuh pertanyaan “ada apa dengan bumi ku?”. Kenapa isu untuk tidak memiliki anak ini muncul. Sebelum kita kepoin apa sih “Childfree” kita mulai dengan berselancar dari reality show kehidupan yang ada saat ini ya, gais. Cekidot!

Perempuan dan Potensi Publik

Perempuan kerap menempati posisi yang serba salah, lagi dan lagi. OK, ruang publik pada saat ini sudah sedikit terbuka untuk perempuan. Namun, tidak seperti lagu, buka sithik jos! Banyak hambatan yang bermunculan. Eksistensi perempuan dipersoalkan, meskipun di ruang publik mereka ada, tetap saja auranya tertutupi dominanya laki-laki.

Belum lagi, saat si perempuan sedang meniti karir menunjukan keberadaan eksistensinya, ada saja perempuan lain yang iri dengan keberhasilannya. Dan alhasil pembully-an atas perempuan lebih banyak dilakukan oleh sesama perempuan sendiri.

“Si A terpilih menjadi ketua senat, lho.”

“Ihh, kok perempuan sih. Dia kan baperan, kenapa enggak Bambang aja, kan masih ada laki-laki.”

Di sini saya tidak menggeneralisir semua perempuan. Hanya saja seakan kasus ini mengaminkan, kalau perempuan lebih dikendalikan oleh emosionalnya, rasa baper, insecure, dengki, iri, dan tetekbengek resee yang biasa perempuan julid lakuin.

Berbicara tentang perempuan, membutuhkan waktu yang lama untuk memahaminya, masih mending kasus di atas, perempuannya berusaha meniti karir. Tinggal penguatan internal diri mereka untuk fokus dan mempertegas tujuan, insyaAllah aman dari segala perjulidan. Karena, saat tujuan sudah jelas nyata kita ga akan tolah-toleh mendengarkan kawanan anjing yang berlalu. Kembangkan kapasistas terus menerus saja, tidak perlu dengarkan pendapat yang membuat sesak di dada.

Perempuan Menihilkan Diri Sendiri

Sayangnya, ada perempuan yang merasa minder duluan ke seseorang yang jauh lebih kompeten. Agaknya penganut feminis perlu membaca tulisan saya, mereka yang mengangkat isu tentang kesetaraan gender yang menginginkan perempuan juga diberi hak yang sama dengan pria. Saat pria sudah berbagi sedikit ruang publik dengan perempuan. Nyatanya, kebanyakan perempuan minder duluan dan menihilkan keberadaannya sendiri. Tanpa memperjuangkan sedikitpun dan berusaha untuk mengembangkan kapasitas potensi yang ia miliki.

Sejarah feminis mulai dari, feminis liberal yang menginginkan kebebasan keputusan akses seks, feminis kultur yang ingin dimuliakan meskipun hanya berada di kancah 3M (Masak, Macak, Manak), feminis radikal yang menginginkan masuk dalam dunia publik, feminis sosialis, feminis spritualis, dan sampai sekarang. Secara garis besar dapat kita ambil benang merahnya, bahwasanya para perempuan hanya ingin dianggap sebagai subjek. Ia tidak ingin selalu menjadi bonekannya laki-laki. Namun, setelah kesempatan diberikan ia sendiri yang menempatkan diri mereka sebagai objek kajian laki-laki.

Silakan jika ingin menyalahkan perempuan. Saya beri waktu, satu sampai sepuluh detik. Sudah? Oke, setelah itu coba kita dudukan permasalahannya, mengapa beberapa perempuan kurang berdaya dibandingkan laki-laki.

Pertama, perempuan diberi beban ganda (double burden). Sejak ia kecil, orang tua yang salah kaprah dengan konsep parentingnya membedakan anak laki-laki dan perempuan, sehingga kontruksi berpikir pekerjaan domestik di rumah semua dibebankan pada perempuan. Bagaimana ia mempunyai waktu luang untuk menggunakan waktunya untuk meningkatkan kapasitas diri jika semua perempuan tanggung sendiri. Belum lagi saat berumah tangga, tugas semakin berat apalagi saat partner hidup tidak pengertian dengan istrinya. Tenaga hanya terkuras di sini.

Kedua, tidak dipungkiri dan bukan rahasia umum lagi. Perempuan hatinya halus, mudah sensitif, terkadang moody-an. Hal ini jika tidak termanaje dengan baik segala rencana yang ia bangun akan kacau dan berserakan. Pemberdayaan diri lagi-lagi kendala terbesar ke dua setelah tenaga terkuras ya ini.

Ketiga, subordinat. Perempuan selalu dinomorduakan posisinya setelah laki-laki. Saat akan mewakili sesuatu laki-laki selalu diutamakan. Bagaimana perempuan belajar jika apa-apa yang maju dulan selalu laki-laki.

Sampai di sini, dulur bisa menangkap jawaban yang ada di paragraf pertama ndak? Pemikiran para perempuan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak setelah menikah ya salah tiganya ada di atas. Perempuan yang memutuskan untuk childfree karena khawatir akan kehidupan setelah memiliki anak akan bertambah riweuh. Waktu yang mereka seharusnya gunakan untuk meningkatkan kualitas diri tersita untuk memomong bayi.

Alasan Memutuskan untuk Childfree

Belum lagi ditambah pasangan yang terbalut kental dengan nuansa patriarki, seorang istri setelah melahirkan yang rasa sakit bisa dibayangkan seperti patahnya 120 tulang secara bersamaan. Malam harus begadang jika bayi nangis dan ingin makan, satu-satunya makanan terbaik ialah asinya. Keesokan harinya pasti sungguh melelahkan didera rasa kantuk dahsyat. Alangkah tega sekali jika pekerjaan rumah suami tidak ambil alih untuk dikerjakan. Terkadang hal seperti ini yang menjadi penyebab ibu muda mengalami baby blues yang benci terhadap bayinya sendiri.

Tulisan ini bukan sebagai pendukung yang mengajak menggencarkan dan membenarkan pilihan untuk tidak memiliki anak. Hanya saja saya ingin kita sama-sama membuka mata bahwasanya perempuan ingin lho  bagi peran dengan laki-laki. Tidak hanya urusan publik tapi domestik juga. Jangan menambah masalah karena mempermasalahkan permasalahan yang ada. Bisa dikatakan pilihan untuk memutuskan childfree ini bentuk protes perempuan pada laki-laki yang berusaha menghegemoni tubuhnya, pengen punya anak terus tapi capek semua dilimpahkan ke istri.

Dunia ini yang hitam putih hanya agama, silakan semua dikembalikan pada keyakinan masing-masing. Jika bisa dilakukan perbaikan, kenapa tidak? Doa saya semoga kita (perempuan) mendapatkan laki-laki yang sholih, pengertian, dan sayang pada keluarga, mereka yang mengerti konsep kesetaraan gender. Sehingga terciptalah partner hidup sejati untuk membina peradaban dunia lebih baik lagi, dengan sama-sama menumbuhkan benih anak yang sholih-sholihah yang berguna bagi kehidupan di dunia dan akhirat nanti.

Editor: Nawa

Gambar: tribunnews