Membahas tentang Indonesia, sepertinya merupakan tema dan topik yang dinamis karena begitu aneka ragam masyarakatnya. Negara plural yang kita diami ini terus mengalami gejolak sosial dari berbagai ranah kehidupan, baik dalam ranah agama, budaya, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagaimana ungkapan dari Menteri Riset dan Teknologi, bahwa untuk menjadi negara maju setidaknya suatu negara membutuhkan waktu sekitar 100 tahun, maka boleh dikatakan Indonesia yang remaja ini masih terlihat labil dan dalam proses adaptasi.

Belakangan, kasus bom bunuh diri dan terorisme marak menjadi perbincangan publik. Bukan hanya sekedar bom bunuh diri yang menyerang tempat ibadah di Makassar, setelahnya terjadi juga aksi penyerangan dan penembakan oleh seorang wanita di Mabes Polri Jakarta. Adanya kasus tersebut mengisyaratkan dan memberi tanda, bahwa ada tindak lanjut dari upaya radikalisme dan separatisme yang sedang diinisiasikan oleh beberapa kelompok di Indonesia.

Radikalisme dan Separatisme

Hal itu secara sistematis telah disampaikan dalam buku Menakar NKRI Bubar, karya Ahmad Khoiri, dkk. Entah kenapa tiba-tiba pada bab pertama, buku tersebut langsung menemukan keadaan Indonesia secara aktual dan relevan dengan keadaan negara kita. Radikalisme dan separatisme merupakan tindak subversif yang bersifat ekstrem dan frontal. Perbedaan keduanya terletak pada jangkauannya yang berbeda. Radikalisme ialah tindakan yang “Merebut dan mengganti sesuatu yang sudah ada,” sementara separatisme ialah tindakan yang “Membuat sesuatu yang baru dan memisah diri dengan sesuatu yang sudah ada.”

Meski keduanya secara fungsional dan dampak buruknya hampir sama, namun sistem dan rekam jejak kedua gejala sosial tersebut mesti dibahas secara terpisah. Buku ini membahas kedua hal tersebut dengan melibatkan studi kasus, dicontohkan di mana radikalisme ditandai dengan maraknya doktrin politik agama atau pertarungan antar-ideologi. Sementara separatisme mengacu pada contoh kasus adanya gerakan di Papua, misalnya.

Kembali ke Indonesia, sesuai judul di mana penulis sengaja menciptakan opini dalam judulnya “Menakar NKRI bubar”. Maka, dengan sumber sejarah dan literatur sebagai referensi, buku ini memuat cerita suatu negara yang “gagal” dalam mengatasi konflik negara sehingga menyebabkan masyarakat atau sistem kelola negaranya amburadul. Sebut saja beberapa negara seperti Uni Soviet, Yugoslovia, dan negara-negara di Timur Tengah, seperti Libya, Suriah, Irak, dan Yaman menjadi sempel dampak dari problem sosial suatu bangsa.

Menakar Indonesia

Sebelum menuju bab akhir, buku ini mencoba menakar dengan mempertimbangkan potensi bubarnya Indonsia dilihat dari kasus-kasus yang berkepanjangan dan tak kunjung ditemukan penyelesaiannya. Sebagai tonggak utama, wacana keagamaan menjadi salah satu aspek yang paling berpeluang menghasilkan suatu gerakan yang bisa menjadi oposisi pemerintah.

Hal tersebut disebabkan kurangnya wawasan keagamaan dan dampak dari mengonsumsi kitab suci secara tekstual. Hal lainnya ialah salah tafsir, yang akan berpengaruh terhadap terciptanya suatu kelompok dengan dalil pembenaran dari kitab suci,. Selain itu, terdapat pula aksi-aksi yang menimbulkan banyak kerugian, namun dianggap jihad atau perjuangan agama.

Berbagai kajian yang disuguhkan dalam buku ini bersumber dari literatur dan data grafik yang meyakinkan dalam suatu wilayah tertentu yang relavan dengan permasalahan radikalisme atau separatisme. Namun, dalam ranah yang tak pernah dijangkau dalam wilayah tertentu, masyarakat tetap hidup berdampingan dengan toleran.

Di Salatiga, misalnya,yang tahun 2021 ini mendapat predikat kota paling toleran di Indonesia bisa dijadikan titik temu dan referensi kehidupan berbangsa yang sesungguhnya. Atau dalam lembaga pendidikan pesantren dalam penanaman akidah yang kuat tentang bagaimana keberagamaan yang baik, dengan tafsir agama yang baik juga peran mereka sebagai masyarakat Indonesia yang fleksibel antara ilmu keagamaan dan zaman.

Terakhir, setelah menyantumkan sumber data yang empirik terhadap opini Indonesia bubar. Pada akhir bab buku ini memberikan optimisme kepada pembaca dengan berbagai solusi yang ditawarkan, baik dalam bentuk penguatan ideologi atau perkembangan Indonesia dari pendidikan, politik, ekonomi yang disampaikan bersama data kemajuan atau penurunan efektifitas program kerjanya.

Namun, terkait pesismisme dan optimisme Indonesia dalam mempertahankan eksistensi dan kerukunannya, menjadi tugas penting generasi muda yang berperan aktif dalam berbagai bidang dan kompetensinya demi membangun Indonesia.

***

Hemat saya, buku ini layak dibaca untuk orang-orang yang mencintai Indonesia terlepas dari kelebihan dan kekurangannya. Sebab, dengan mengetahui kekurangan atau permasalahan di negara sendiri, kita dapat ikut andil dalam memperbaiki dan menjaganya agar tetap utuh.

Sesuai gambar sampul buku tentang beragamnya Indonesia dalam satu gambar, merupakan simbol kerukunan dan kerja sama antar-seluruh komponen yang ada di dalamnya. Hingga semangat dari dalam itu yang membuat Indonesia terus ada dengan ciri khas ramah, toleran, dan aneka ragamnya. Apa pun lebih dan kurangnya negaraku, aku terlanjur mencintai Indonesia.

Editor: Nirwansyah